TAMBOLAKA,SELATANINDONESIA.COM – Sengketa lahan antara Apliana Wenyi Djari dan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya membuka perdebatan serius soal kepastian hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pembangunan jalan yang melintasi pekarangan rumah Apliana tanpa persetujuan pemilik.
Apliana yang memegang sertifikat tanah nomor 182 tahun 1987 menyampaikan keberatan resmi kepada Bupati Sumba Barat Daya. Dalam surat itu ia menolak pembangunan dengan dasar hukum yang jelas, termasuk Undang-Undang Pokok Agraria dan regulasi pengadaan tanah.
Namun, audiensi yang digelar pemerintah daerah justru berujung pada polemik baru. Bupati Sumba Barat Daya menyebut adanya surat pernyataan dari pihak lain yang mengizinkan pembangunan jalan di atas lahan tersebut. Surat itu, menurut penuturan kuasa hukum Apliana, baru dibuat setelah jalan dibangun dan diduga disusun oleh sejumlah oknum, termasuk anggota TNI, istri polisi, dan aparatur sipil negara.
Kritik keras kuasa hukum
Kuasa hukum Apliana, Herry F.F. Battileo, menilai pemerintah daerah melakukan pembiaran sekaligus penyalahgunaan wewenang. “Alih-alih melindungi hak warga negara yang dijamin konstitusi, pemerintah justru menjadi backing up dari perampasan tanah. Sertifikat tanah dianggap tak berlaku, sementara surat pernyataan yang cacat hukum dijadikan dasar pembenaran. Ini fatal,” ujar Herry di Tambolaka, Jumat (19/9/2025).
Ia menambahkan, pengakuan pemerintah atas surat yang dibuat setelah pembangunan jalan tidak hanya melemahkan kepastian hukum, tetapi juga mencederai mandat rakyat. “Rakyat memilih pemimpin untuk melindungi mereka, bukan untuk melegalkan perampasan tanah dengan dalih pembangunan,” ucapnya.
Ancaman preseden buruk
Herry juga mempertanyakan konsistensi pemerintah daerah dalam menegakkan hukum. Menurut dia, jika sertifikat sebagai bukti hak milik bisa dikalahkan oleh surat pernyataan yang dibuat pihak tak berwenang, maka hukum kehilangan wibawanya.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya pada hukum jika pemerintah sendiri tidak menghormati proses hukum? Ini menciptakan preseden buruk bahwa kekuasaan bisa membalikkan aturan,” katanya.
Menunggu langkah pemerintah
Apliana sendiri menyatakan siap menempuh jalur hukum jika keberatannya tidak ditanggapi. Bagi warga sekitar, kasus ini tak hanya soal sengketa sebidang tanah, melainkan juga ujian atas keberpihakan negara dalam melindungi hak warganya.
Masyarakat kini menunggu sikap tegas pemerintah daerah. Apakah surat pernyataan yang dipersoalkan akan dibatalkan, atau justru dipertahankan sebagai dasar hukum pembangunan? Jawaban atas pertanyaan itu akan menjadi ukuran arah penegakan hukum di Sumba Barat Daya.*/Hebat



Komentar