Oleh Dr. YANTO M.P. EKON, SH.,M.Hum
(Dosen FH UKAW Kupang-NTT)
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) merupakan dua lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) untuk menguji peraturan perundang-undangan. MA-RI berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ditetapkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sedangkan MK-RI berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ditetapkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Merujuk pada Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) UU RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat diuji oleh MA-RI terdiri dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, PERDA Provinsi dan Kota/Kabupaten, termasuk juga Peraturan MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga dan Komisi yang setingkat dan dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Salah satu lembaga negara berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan pemilihan umum memiliki kewenangan atribusi untuk menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut, dapat diuji ke MA-RI, apabila substansi muatannya dianggap melanggar hak-hak warga negara yang dilindungi oleh undang-undang. Berdasarkan kewenangan dari MA-RI, maka pada tanggal 24 April 2024 Partai GARUDA mengajukan permohonan keberatan hak uji materil terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Ketentuan ini menetapkan bahwa WNI dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota dengan memenuhi persyaratan …….”berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak penetapan pasangan calon”.
Alasan mendasar diajukannya permohonan keberatan hak uji materil ini oleh Partai GARUDA ke MA-RI karena Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tersebut, dianggap bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU RI Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Berdasarkan permohonan keberatan hak uji materil dari Partai GARUDA maka pada tanggal 29 Mei 2024, MA-RI menjatuhkan Putusan Nomor 23P/HUM/ 2024 dengan amar antara lain “menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 …….dan seterusnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, sehingga Pasal a quo berbunyi Pasal 4 ayat (1) huruf d “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih”.
Akan tetapi pada tanggal 11 Juni 2024, dua orang mahasiswa masing-masing A. Fahrur Rozi dari Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Anthony Lee dari Podomoro University mengajukan uji materil terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU RI Nomor 10 Tahun 2016 yang menetapkan “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan …….” berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”. Alasan konstitusional diajukannya permohonan uji materil ini karena Pasal 7 ayat (2) huruf e UU RI Nomor 10 Tahun 2016 tidak memuat kapan “penghitungan” syarat minimum usia calon kepala daerah ditentukan sehingga menyebabkan proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berkepastian hukum dan tidak demokratis. Oleh karena itu, menurut pemohon bahwa norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur dan berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung ‘sejak penetapan pasangan calon’. Berdasarkan permohonan uji materil tersebut, maka pada tanggal 01 Agustus 2024, MK-RI menjatuhkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dengan amar menolak permohonan pemohon seluruhnya atas dasar pertimbangan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 merupakan norma yang sudah jelas dan terang benderang sehingga tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon.
Putusan MA-RI dan MK-RI terhadap persyaratan umur dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaannya adalah menurut MA-RI bahwa syarat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur adalah berusia serendahnya 30 (tiga puluh) tahun dan bagi Calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Walikota berusia serendahnya 25 (dua puluh lima) tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, sedangkan menurut MK-RI bahwa syarat usia serendahnya 30 (tiga puluh) tahun bagi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun bagi Calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 sudah jelas dan terang benderang terhitung sejak proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon. Persoalan hukum yang timbul adalah putusan manakah yang seharusnya diterapkan oleh KPU dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun 2024?
Putusan MA-RI Tentang Syarat Calon Kada dan Wakada
Mahkamah Agung Republik Indonesia menjatuhkan Putusan Nomor 23P/HUM/2024, tanggal 29 Mei 2024 yang menetapkan syarat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur adalah berusia serendahnya 30 (tiga puluh) tahun dan bagi Calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Walikota berusia serendahnya 25 (dua puluh lima) tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, didasari beberapa pertimbangan. Pertama, ketiadaan kepastian hukum tentang waktu penghitungan umur Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketiadaan kepastian hukum ini terjadi karena Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur tentang kapan atau pada tahapan mana syarat usia bagi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Calon Bupati/Wakil Bupati dan Calon Walikota/Wakil Walikota harus dipenuhi. Akibatnya KPU menetapkan peraturan perihal kapan usia Calon Kepala Daerah harus terpenuhi secara berbeda. Perbedaannya adalah Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menetapkan syarat usia Calon Kepala Daerah, dihitung pada saat pendaftaran, sedangkan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 menetapkan syarat usia Calon Kepala Daerah, dihitung sejak penetapan pasangan calon. Perbedaan ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi perubahan makna dan tafsir di masa yang akan datang, sehingga menimbulkan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum.
Kedua, usia Calon Kepala Daerah dibatasi hanya pada saat penetapan pasangan calon dapat berpotensi menimbulkan kerugian dan diskriminasi. Kerugian dan diskriminasi ini berpotensi dialami oleh warga negara atau partai politik karena tidak dapat mencalonkan diri atau mengusung kepala daerah yang baru akan mencapai usia 30 tahun bagi Gubernur/Wakil Gubernur dan 25 tahun bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota pada saat telah melewati tahapan penetapan pasangan calon. Ketiga, secara filosofis semangat konstitusi yang tercermin dalam Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memberi titik tekan terpenting pada organ negara dan pejabat yang menduduki jabatan, maka makna sejati dari usia minimum bagi jabatan-jabatan dalam sistem hukum tata negara RI haruslah dimaknai usia ketika dilantik dan diberi wewenang oleh negara untuk melakukan tindakan pemerintahan.
Pertimbangan dan putusan MA-RI yang menetapkan syarat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur adalah berusia serendahnya 30 (tiga puluh) tahun dan bagi Calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Walikota berusia serendahnya 25 (dua puluh lima) tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih atas dasar ketiga pertimbangan hukum di atas, ternyata terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah satu Hakim Anggota yaitu Dr. Cerah Bangun, SH.,M.H. Hakim. Hakim Anggota Dr. Cerah Bangun, SH.,MH menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur secara rinci dan/atau detail mengenai batas penghitungan usia untuk Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Oleh karena itu, Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 menambah frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon” justru diperlukan untuk melaksanakan dan/atau menyelenggarakan UU Nomor 10 Tahun 2016. Bahkan frasa tersebut tidak bertentangan dengan prinsip “perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan maupun prinsip jaminan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Penulis sependapat dengan Dr. Cerah Bangun, SH.,MH bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 yang menambah frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon” tidak bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 sebab Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur kapan usia Calon Kepala Daerah itu dihitung apakah sejak pencalonan atau pelantikan. Oleh karena itu, dengan adanya Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 yang menambah frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon” justru memperjelas dan memberikan kepastian hukum terhadap waktu penghitungan usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun sesuai asas res judicta pro reo veritate habetur, putusan harus dianggap benar dan mengikat sepanjang tidak dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi.
Putusan MK-RI Tentang Syarat Calon Kada dan Wakada
MK-RI menjatuhkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dengan amar menolak permohonan pemohon seluruhnya atas dasar pertimbangan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 sudah jelas dan terang benderang memiliki makna persyaratan umur 30 tahun bagi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun bagi Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon. Putusan MK RI ini didasarkan atas beberapa pertimbangan hukum. Pertama, secara historis pengaturan usia minimum 30 tahun bagi Calon Gubernur/Wakil Gubernur dan 25 tahun bagi Calon Bupati/Wakil Bupati atau Calon Walikota/Wakil Walikota, sebelumnya telah diatur dalam 4 (empat) undang-undang yaitu Pasal 13 ayat (1) huruf e UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Pasal 7 huruf e PERPU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Pasal 7 huruf e UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang, Pasal 7 huruf e UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 dan sekarang Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016, tetapi tidak ada satu ketentuan yang secara eksplisit atau terang benderang memuat frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon” dalam menentukan batasan menghitung usia minimum dimaksud. Namun penentuan batas minimum menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selalu dihitung atau menggunakan titik atau batas sejak penetapan calon.
Kedua, secara sistimatis batasan usia minimum untuk dapat dicalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah selalu ditempatkan dalam bab yang mengatur mengenai “persyaratan calon” dan tidak ditempatkan di bab lain. Selain itu, urutan rangkaian atau tahapan kegiatan berada dalam satu kalindan yaitu tahapan pendaftaran, penelitian persyaratan calon dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini berarti semua syarat yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum KPU menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ketiga, sejak pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara langsung dan serentak mulai tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020, titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan calon selalu dilakukan pada tahapan penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan keempat, apabila dibandingkan antara titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dengan titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan calon anggota legislatif serta calon presiden dan calon wakil presiden maka titik atau batas penentuan keterpenuhan syarat sebagai peserta pemilu ditentukan pada tahap penetapan sebagai pasangan calon. Berdasarkan pendekatan historis, sistimatis, praktek dan perbandingan oleh Mahkamah Konstitusi, maka titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 sudah jelas dan terang benderang yaitu pada tahap penetapan calon dan bukan pada tahapan lain sehingga tidak perlu menambahkan pemaknaan baru sebab jika ditambahkan pemaknaan baru maka akan berbeda dengan undang-undang lain tentang pemilu dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Penerapan Syarat Usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh KPU
Putusan MA-RI dan MK-RI tentang titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki perbedaan yang mendasar sebab Putusan MA-RI menyatakan titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan waktu kepala daerah adalah pada saat “pelantikan pasangan calon”, sedangkan MK-RI menyatakan titik atau batas penghitungan usia minimum kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pada “penetapan pasangan calon”. Berdasarkan asas ‘res judicata pro reo veritate habetur’ maka putusan MA-RI maupun MK-RI sama-sama benar, tetapi KPU sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dapat menerapkan kedua putusan ini sekaligus, melainkan harus menetapkan satu putusan sebagai dasar untuk diterapkan dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Penetapan KPU untuk menerapkan salah satu putusan sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak bisa didasari pilihan politik, melainkan harus didasari atas teori dan asas-asas hukum atau ketentuan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, berdasarkan asas-asas hukum atau ketentuan hukum yang berlaku, titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah manakah yang diterapkan oleh KPU? Apakah pada saat “pelantikan pasangan calon” sesuai Putusan MA-RI ataukah “penetapan pasangan calon” menurut Putusan MK-RI? Menurut penulis, dengan merujuk pada teori dan asas-asas hukum maka titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah terhitung sejak “penetapan pasangan calon” sebagaimana putusan MK-RI dan bukan sejak “pelantikan pasangan calon” seperti putusan MA-RI. Titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus diterapkan oleh KPU dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya sesuai Putusan MK-RI yaitu dihitung sejak “penetapan pasangan calon” karena beberapa alasan.
Pertama, kewenangan MK-RI adalah menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, sedangkan kewenangan MA-RI adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sehingga setelah MK-RI menyatakan melalui putusan yang bersifat mengikat dan final bahwa titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara jelas dan terang benderang sejak “penetapan pasangan calon”, maka segala putusan atau peraturan yang bertentangan dengan Putusan MK-RI termasuk Putusan MA-RI secara otomatis tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua, hierarki peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir dengan UU RI Nomor 13 Tahun 2022 menetapkan undang-undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada PP, Perpres, Permen, Perda dan peraturan lembaga atau komisi lain termasuk Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020. Oleh karena itu, MK-RI yang diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 telah menyatakan titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut undang-undang adalah sejak “penetapan pasangan calon”, maka KPU sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib melaksanakan dengan menetapkan peraturan pelaksanaan sesuai undang-undang tersebut dan tidak boleh menetapkan peraturan yang bertentangan dengan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ketiga, Putusan MA-RI Nomor 23P/HUM/2024 yang menyatakan titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak “pelantikan pasangan calon” diucapkan pada tanggal 29 Mei 2024, sedangkan Putusan MK-RI Nomor 70/PUU-XXII/2024 diucapkan pada tanggal 20 Agustus 2024. Hal ini berarti pertimbangan hukum Putusan MK-RI yang menyatakan titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 secara jelas dan terang benderang terhitung sejak “penetapan pasangan calon” merupakan sumber hukum baru yang sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori, dapat meniadakan atau mengesampingkan Putusan MA-RI yang menyatakan titik atau batas penghitungan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak “pelantikan pasangan calon”.
Sebaliknya penerapan putusan MA-RI tentang titik atau batas usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak “pelantikan pasangan calon”, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016, yang menurut MK-RI secara jelas dan terang benderang menetapkan titik atau batas usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dihitung sejak “penetapan pasangan calon” bukan pelantikan pasangan calon. Akibatnya proses penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat pencalonan sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf e UU RI Nomor 10 Tahun 2016 dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, apabila terdapat pihak yang mengajukan gugatan. Demikian pula hasil pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, apabila terdapat pihak yang mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi sebab hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut bersumber dari proses yang tidak benar atau melanggar hukum. Pembatalan terhadap proses dan/atau hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf e UU RI Nomor 10 Tahun 2016 dapat mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara sebab anggaran negara yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi sia-sia dan siapapun pejabat pengambil keputusan yang melawan hukum dan mengakibatkan kerugian keuangan negara dapat diproses dan diadili di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semoga bermanfaat!**/