TAMBOLAKA,SELATANINDONESIA.COM – Kepala Kanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone tampil memukau menjadi narasumber dalam kegiatan Rapat Koordinasi Penanganan Pekerja Migran Indonesia Non Prosedural (PMI-NP) dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Rakor tersebut diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi di Sima Hotel Sumba-Tana Humba, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (13/07/2023).
Hadir saat itu Wakil Bupati Sumba Barat Daya Christian Taka, Â Direktur Kerjasama Keimigrasian, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, Kepala Imigrasi se-NTT, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Kepolisian Resor Sumba Barat Daya, Kejaksaan Negeri, Kodim 1629, BINDA NTT, BP3Ml NTT, Camat, Lurah, dan instansi terkait lainnya pada lingkup pemerintahan kabupaten Sumba Barat Daya.
Marciana mengatakan, kasus TPPO atau trafficking terbilang cukup tinggi di Provinsi NTT. Namun, tidak banyak masyarakat yang melaporkan karena beberapa faktor. Diantaranya, kemiskinan, terbatasnya ketersediaan lapangan kerja, pendidikan yang rendah, minimnya informasi serta minimnya kesadaran mengenai hak-hak tenaga kerja.
“Seringkali kita tidak memahami permasalahan yang terjadi, misalnya masih adanya penipuan, pemaksaan dan tindakan kekerasan terhadap calon Tenaga Kerja Indonesia asal NTT,” ujarnya.
Menurut Marciana, calon tenaga kerja asal NTT umumnya tidak mengetahui kemana tujuan mereka untuk bekerja. Begitu juga tidak mengetahui pekerjaan apa yang akan mereka lakukan. Selain itu, masih banyak calon tenaga kerja yang akan keluar (AKAD maupun AKAN) tidak dilengkapi dengan dokumen atau surat- surat resmi.
“Korban trafficking bisa laki-laki, perempuan, anak-anak dan bayi. Siapa saja bisa menjadi calo, seperti perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah, aparat pemerintah, majikan, orang tua dan sanak saudara,” imbuhnya.
Marciana menambahkan, TPPO bisa berbentuk kerja paksa seks dan eksploitasi seks, perbudakan, Pembantu Rumah Tangga (PRT) dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang, serta beberapa bentuk buruh/pekerja anak, penjualan bayi, dan pengambilan organ tubuh. Untuk mencegah terjadinya TPPO, pihaknya mengajak semua lapisan masyarakat, termasuk pemerintah, camat, lurah, dan tokoh adat, untuk bersama-sama melakukan pencegahan TPPO dengan caranya.
“Apa yang kau biarkan, adalah apa yang akan berlanjut. Stop perdagangan orang di bumi Flobamora,” tegasnya disambut antusias seluruh peserta kegiatan.
Selain itu, Marciana juga menekankan bahwa calon TKI pada masa pra-penempatan harus memenuhi persyaratan seperti berusia sekurang-kurangnya 18 tahun, sehat jasmani dan rohani, tidak dalam keadaan hamil, berpendidikan sekurang-kurangnya SLTP atau yang sederajat dan harus memenuhi semua dokumen yang diperlukan untuk mendaftar sebagai TKI.
Masyarakat juga diingatkan untuk berhati-hati apabila ada yang menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi dan proses imigrasi yang cepat dan bebas biaya menggunakan dokumen palsu, sekalipun yang menawarkan adalah orang terdekat.
“Segera laporkan kepada Aparat Penegak Hukum, Aparat Pemerintah terdekat seperti Camat dan Kepala Desa, Komnas HAM, Aktivis HAM maupun LSM pemerhati trafficking jika terdapat tanda-tanda mencurigakan dari calo/perekrut untuk bekerja ke luar negeri,” jelasnya.
Sebagai bagian dari pendekatan pelayanan kepada masyarakat, Marciana menyatakan, pihaknya siap melayani masyarakat di Sumba Barat Daya untuk mengurus paspor, khususnya bagi yang ingin bekerja di luar negeri. Terkait hal ini, Pemda melalui Dinas Tenaga Kerja, Camat, dan Kepala Desa bisa melakukan pendataan terhadap warganya yang merupakan calon TKI untuk kemudian dikomunikasikan kepada Kanwil Kemenkumham NTT maupun Kantor Imigrasi agar melakukan pelayanan keimigrasian khususnya pelayanan paspor di tempat.*/) Hms/Rin
Editor: Laurens Leba Tukan