Oleh Mini Temaluru (Desainer Gereja Katedral Reinah Rorasi Larantuka)
Suatu hari, ada seorang teman bercerita pada saya soal tanah yang diselisihkan oleh keluarga tetangganya.
” Dorang ni tetau sejarah. Dorang piki gampa e..nene torang dulu dapa tanah nih. Torang ni da Costa asli ka. Dorang tu bukan da Costa, cuma diangkat jadi da Costa karena maso Katolik jo.”
” Begena meka. Ada masalah apa sampe emosi gini.”
“Kita ni baca di tulisan No tentang penandatangan traktat penyerahan Portugal ke Belanda tahun 1854 tu. Ada nama Alfredo Benedicto Caesario da Silva tu.”
“Ia gena meka…hubungannya gena.”
“Sebelum Sesar da Silva itu ada nama Dominggo da Costa. Kan dulu yang kepala batu pimpin Nagi saman Portugal tu keluarga da Costa to. Dia yg paling berani sampe Belanda po tako abi. Sekitar tahun 1700 tu,” Jelasnya menggebu-gebu.
“Jo..?”
“Nah sekerang ni dorang betau korang ada apa. Padahal torang nih turunan Portugis hitam (Zwartej Portugeissen). Nene moyang torang tu kawen mo orang Nagi jo tingga de ba tu mulai dulu kala. Jo tetangga pendatang betau torang nih te ada apa-apa.”
“Telusuri sejarah tanah dan perlekatan tanah itu mo No dorang ka. Pasti ada sejarahnya yang beto” kataku sekenanya.
Sejarah mencatat dengan yakin bahwa Portugis ratusan tahun (1561 hingga 1854) berada di Larantuka dengan segala cerita menarik baik cerita religiositasnya, politik penjajahan, dagang, asimilasi dan akulturasi budaya Eropa dan ketangkasan perang kapal-kapalnya. Sejak dikalahkan Belanda di Lohayong dan berpindah Larantuka yang nyaman, Portugal mendapat rumah tempat berdiam yang asri. Sebuah kota pelabuhan yang terlindung dari gelombang besar atau para bajak laut China, Arab, Eropa lainnya.
Larantuka menjadi pelabuhan terbesar kedua di Hindia Timur setelah Makau. Perdagangan maju karena kedatangan pedagang China dan Arab serta Portugal yang bersaing merebut rempah dan kayu cendana.
Larantuka sendiri saat itu memiliki Raja yang berdaulat namun kekuatan armada Portugal yang sangat kokoh membuat kerajaan ini dikuasai secara bergantian antara keluarga Ha Ornay dan Da Costa.
Adalah Jan Ha Ornay, sekitar tahun 1675, seorang Opsir Belanda yang membelot dan masuk Katolik dan berpindah ke Larantuka bergabung dengan kaum turunan Portugis lainnya. Keturunan Portugal yang berdatangan ke Larantuka menikahi gadis-gadis pribumi dan menjadi Portugis Hitam. Orang Belanda menyebutnya sebagai Zwarte Portugeesen (Portugal Hitam).
Portugal membangun bentengnya dan rumah-rumah opsir mereka di Posto (sekarang kompleks Biara Susteran PRR Postoh).
Jan Ha Ornay akhirnya memimpin Larantuka dengan kejam. Saingan terberatnya adalah keluarga Dominggos Da Costa yang asli turunan Portugal dengan bangsawan dari Timor.
Perebutan kekuasaan antar 2 keluarga ini di Larantuka berkaitan dengan perebutan pengaruh dalam perdagangan rempah-rempah dann kayu cendana. Mereka memegang kekuasaan sipil sebagai Raja tanpa mahkota.
Keluarga ini menguasai perdagangan dan menjalankan ambisinya dengan tangan besi. Namun kekuasaan keluarga Ha Ornay harus berbagi dengan keluarga Dominggos da Costa. Da Costa berhasil mengusir pihak utusan Portugal yakni Antonio Coelho Guerreiro yang berusaha masuk Larantuka dalam tahun 1700. Antnonio Guerreiro akhirnya mendarat di Lifao Timor dalam tahun 1702. Namun Dominggos da Costa yang tetap tidak puas kerena merasa bahwa wilayah Lifau yang berada di bawah pengaruhnya diserobot. Benteng Lifau dikepung selama 2 tahun sehingga banyak prajurit Portugal yang mati. Dengan bantuan Belanda dan orang-orang Oekusi, Guerreiro akhirnya nyerah dalam tahun 1704.
Dalam tahun 1655, Jacob Van der Hidjen yang menguasai sebagian Timor dan Solor (VOC) ditusuk tewas oleh pedang Ha Ornay dalam pertempuran untuk menaklukan kerajaan Sonbai di Timor. Orang-orang Solor dibawa ke Kupang membantu VOC untuk menanamkan pengaruhnya di sana namun dipatahkan oleh keluarga Ha Ornay yang berani dan kejam sebagai pemimpin perang Kerajaan Larantuka yang saman itu memiliki kekuasaan hingga daratan Timor.
Saman Larantuka dikuasai dua kekuatan perang ini, pengaruh kekuasaannya sampai daerah Timor Utara yaitu Noimuti, Lifao dan daerah sekitarnya bahkan ke Maumer, Ende dan sekitarnya.
Dengan begitu banyak kekacauan dalam kerajaan Larantuka sendiri maka otomatis kegiatan gerejawi sangat terganggu. Antara tahun 1680an hingga 1750an situasi perang ini membuat banyak Imam Dominikan meninggalkan Larantuka karena ketakutan. Terjadi kevakuman pelayanan Klerikal yang cukup signifikan di kerajaan Larantuka. Peran Raja Larantuka dan Confreria sangat masive. Berada dibawah tekanan keluarga Ha Ornay dan da Costa, Raja Larantuka yang sebenarnya, memilih berhubungam baik dengan mereka sehingga posisi keluasaannya sangat aman dan tentram dari serangan Belanda dan masyarakat pegunungan yang masih berselisih paham soal-soal tradisi.
Namun di sisi lain, ketiadaan para klerus membuat kegiatan ritual khususnya Natal, Semana Santa dan Bulan Rosario, 3 perayaan terbesar dalam Tradisi religius kerajaan Larantuka tetap terjaga.
Khusus Semana Santa, ritual devosional ini tetap berjalan dengan bantuan suku-suku Semana dan confreria di bawah koordinasi sentral Raja Larantuka dari saat ke saat.
“Dulu tu paje-paje terada. Misa po ne. Cuma ibadat mo sembayang jo. Jadi guru-guru agama mo tetua Nagi yang tahu katekismus aja agama. Unto bae ada Raja Larantuka yang waktu itu mati-matian bersama Konfreriao suku-suku Semana jaga semua tradisi sampe sekerang ni,” kata om Kobus waktu itu.
“Raja dulu paling perhatikan agama daripada politik ka dagang ka seperti Belanda mo Portugal. Jadi orang maso agama ketorang juga tega Raja mo konfreria baik di Nagi maupun di Konga.”
” Jo persisan nih gena..ada perubahan ka ne. Ka mesing sama jo.”
” So banya beda No. Dulu lebe terasa seperti suasana mo perarakannya. Te sembarang. No tau ne..contoh lakademu tu 4 orang. Me sapa-sapa torang tetau. Bahkan diantara dorang po tetau satu sama lain. Jo yang piko Tuan Ma tu ada puasanya dorang. Jadi beto-beto ba Mentuan Renya mo Mentuan Deo tu ada tapa dan niat suci,” lanjutnya.
Akh…Larantuka yang ajaib. Heroisme iman yang didasarkan dari keutuhan keyakinan yang kokoh. Sebuah negeri elok yang kecil, tidak juga kaya raya, cuma sepenggal saat ketika mau berjalan melintasi batas-batas wilayahnya. Tidak luas juga, semisal kerajaan Mataram atau bahkan kerajaan Ternate dan Tidore.
Larantuka…menyimpan sejuta elegi tentang sebegitu kuatnya tradisi itu bertahan, dari asal munculnya yaitu Portugal nun jauh di Eropa sana. Meliuk samudra yang bergelora, memenggal arus selat yang ganas lalu tertanam kokoh di sini. Bersambung…