KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Partai Golkar menjadi penggagas utama pertemuan delapan partai politik di Dharmawangsa Jakarta, Minggu (8/1/2023). Kedelapan partai itu diantaranya Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PPP, PKS dan PAN yang sepakat untuk menolak judicial review Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Kendati demikian, sikap politik Partai Golkar Cs mestinya dibarengi dengan langkah hukum agar memiliki daya dobrak yang kuat. Pengamat Politik dari Universitas Muhammadyah Kupang, Dr. Ahmad Atang mengatakan itu kepada SelatanIndonesia.com, Minggu (8/1/2023) setelah berkembang sikap politik Golkar Cs usai pertemuan Dharmawangsa.
Menurut Ahmad Atang, diskursus terkait perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka berubah menjadi proporsional tertutup terus mendapat reaksi publik baik yang pro maupun yang kontra. Posisi partai politik di parlemen juga mengalami keterbelahan antara yang setuju dan yang menolak.
“PDIP sebagai partai yang menginisiasi pengajuan judicial review perubahan tersebut bersama beberapa anggota legislatif lainnya, maka kini Golkar dengan beberapa partai menggalang dukungan untuk menolak dilakukan judicial review. Melihat fenomena ini, terdapat dua rana yang ditempuh, yakni rana hukum dan rana politik. Jika dilihat pada domain masing-masing, maka proses politik yang digalang oleh Golkar Cs tidak akan menggugurkan proses hukum yang sedang berjalan di MK. Pasalnya, proses hukum dapat menggugurkan proses politik apabila MK mengabulkannya. Oleh karena itu, langkah politik Golkar Cs harus juga diikuti oleh langkah hukum agar memiliki daya dobrak yang kuat,” sebut Ahmad Atang.
Selain itu ia menyebut, sikap politik dari 8 partai yang menolak judicial review lebih didasarkan pada kesamanan pandangan untuk mempertahankan model tertutup. “Dengan menggunakan teori drama turgi maka inilah panggung depan yang terlihat. Akan tetapi ada agenda politik lain tentu waktu yang akan menjawab,” sebutnya.
Menurut Ahmad Atang, setiap sistem apapun tentu memiliki kelebihan dan kelemahan termasuk sistem pemilu. “Sistem proporsional terbuka memberi ruang bagi ada kompetisi antar kandidat dalam pemilu dan membangun legitimasi politik yang kuat karena caleg yang menang mendapatkan dukungan riil masyarakat. Namun sistem ini membuka ruang adanya praktik politik yang menghalalkan segala cara untuk menang. Maka praktik seperti politik uang, politik transaksional, dan politik identitas akan mewarnai sistem ini,” sebutnya.
Sedangkan, proporsional tertutup lebih berbasis struktural politik karena nomor urut menjadi penting sehingga orang yang tidak kerja bisa jadi anggota dewan dan tidak ada kompetisi individu. “Dampak lain dari sistem ini adalah oligarki semakin kuat karena caleg ditentukan oleh pimpinan partai. Politik barter akan berkembang kuat dan legitimasi menjadi lemah, disamping anomaly politik akan meningkat karena publik tidak hafal nama dan simbol partai. Oleh karena itu, esensi dari pemilu adalah kompetisi dan partisipasi maka dengan kembali ke proporsional tertutup sama dengan pemilu tanpa kompetisi,” ujarnya.
Walaupun menurutnya, mesti diakui bahwa sistim tertutup akan mengurangi biaya politik, serta eksploitasi politik identitas menjadi rendah dan lebih akomodatif.
Untuk diketahui, sebanyak 8 partai politik menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Penolakan ini muncul sebagai bentuk komitmen partai politik dalam demokrasi pemilu 2024.
Pertemuan 8 partai politik yang berlangsung di Dharmawangsa, Jakarta Selatan ini diinisiasi oleh Partai Golkar. “Silaturahmi 8 Januari kenapa dipilih karena partai yang bergabung dan beri statement ada 8 partai,” ujar Ketua Umum Partai Golkar Arilangga Hartarto, pada Minggu (8/1/2023) dilansir dari KOMPASTV.
Seusai pertemuan, 8 partai politik perserta pemilu 2024 yakni Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PPP, PKS dan PAN sepakat untuk menolak judicial review Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Pertemuan ini menghasilkan 5 butir poin, salah-satunya menolak proposional tertutup demi menjaga komitmen demokrasi. “Pertama, kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” ujar Airlangga.***Laurens Leba Tukan