Terpuruk dan Pulih : UMKM Dalam Pusaran Pendemi C19

111
Frits O. Fanggidae

Frits O Fanggidae – FE UKAW Kupang

Sebelum pandemi C19 melanda, statistik UMKM di Indonesia cukup mentereng. Jumlahnya mencapai 65,5 juta unit, dan kontribusinya terhadap produksi nasional dan penyerapan tenaga kerja di atas 60%. Dalam sekejap, pandemi C19 merontokkan statistik UMKM yang mentereng tersebut. Hasil studi UNDP dan LPEM UI (2020) memperkirakan 10 dari 9 UMKM terkena dampak berat dan 53% mengalami penurunan nilai aset secara signifikan; 40% – 60% mengalami penurunan permintaan seiring pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), terjadi penurunan konsumsi secara signifikan, karena masyarakat mengalihkan pendapatannya untuk berjaga-jaga dari sisi kesehatan.

Bukan hanya itu, sisi penawaran UMKM juga mengalami tekanan luar biasa. Akses terhadap bahan baku dan harga bahan baku menjadi momok bagi sebagian besar UMKM. Kenaikan harga input tersebut berkaitan dengan isu logistik. Hal ini menjadikan pelaku UMKM dibidang industri pengolahan misalnya, sulit menetapkan tingkat harga yang sesuai untuk mengcover kenaikan biaya input yang tinggi.

Kondisi demikian menjadikan kelanjutan hidup UMKM sangat ditentukan faktor internal dan eksternal. Secara internal UMKM harus dapat menyesuaikan strategi keuangan, produksi dan pemasaran dengan lanskap bisnis yg sudah berubah, dan secara eksternal peranan pendampingan pemerintah dan LSM menjadi penting. Dalam kaitan ini, terdapat tiga tantangan berkaitan dengan implementasi pendampingan pemerintah terhadap UMKM yaitu:

(1) Pemerintah perlu mendesain program pendampingan untuk memitigasi berbagai kesulitan yang dihadap UMKM berkenaan dengan Covid 19; (2) Pemerintah perlu untuk memastikan agar semua UMKM memperoleh akses yang sama terhadap program pemulihan ekonomi tersebut. Hal ini tidak mudah karena terbatasnya data base yang dapat digunakan; dan (3) Program pendampingan perlu didesain untuk mendorong UMKM meningkatkan dan mentransformasi bisnis mereka pada periode pemulihan.

Merespons rontoknya bisnis UMKM akibat serangan pandemi C19 tersebut, pemerintah gencar memberi bantuan untuk memitigasi UMKM dari dampak Pandemi C19. Tahun 2020, diberi Bansos dan Stimulus Ekonomi  melalui PP 23/2020, sekitar Rp. 116,3 trilyun disiapkan dan 16,7% digunakan untuk memitigasi dampak Pandemi C19 dan pemulihan bisnis UMKM. Tahun 2021, GoI melanjutkan Program PEN dengan menaikan anggaran menjadi Rp. 744,77 trilyun: untuk membantu pelaku bisnis mikro, jaminan fee untuk 2,45 juta UMKM dan 69 Koperasi; pemempatan dana di bank untuk 5,49 juta debitur; subsidi bunga untuk 14,53 juta debitur; Penyertaan Modal Nasional untuk 7 juta SOEs (Single Ownership Enterprise). Tindakan pemerintah tersebut, betatapun tidak sepenuhnya berhasil, terdapat sejeumlah pelajaran penting bagi pemulihan UMKM diwaktu mendatang.

  • Sebagaian besar skala usaha mikro tidak bisa memanfaatkan bantuan melalui Program PEN, karena usahanya tidak berbadan hukum (informal). Kedepan, setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja, pengurusan badan hukum semakin mudah. Unit Usaha Mikro yang tidak berbadan hukum perlu dipercepat perolehan status badan hukumnya. Peranan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting.
  • Pemanfaatan jasa bank yang rendah, menyebabkan sebagian besar usaha mikro tidak bisa memanfaatkan bantuan subsidi bunga, serta penundaan pembayaran pinjaman pokok dan bunga. Ancangan kedepannya adalah bagaimana menjadikan semua usaha mikro bankable.
  • Kemampuan yang rendah dalam memenuhi persyaratan administratif berkenaan dengan pemanfaatan bantuan Program PEN pada sebagian besar usaha mikro dan kecil. Subsidi pajak pendapatan misalnya, hanya bisa dinikmati 13,3% usaha kecil yang sudah memiliki ijin usaha. Sebagian besar usaha kecil belum bisa memanfaatkan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar usaha kecil masih diperhadapkan dengan permasalahan kompleks terkait ketersediaan informasi dan pemenuhan persyaratan administratif.
  • Kelompok perempuan, pemilik usaha mikro, lebih mengandalkan sumber pendanaan dari keluarga dibanding perbankan. Statistik Status Pekerjaan Utama angkatan kerja juga memperlihatkan kecenderungan yang sama, yaitu proporsi perempuan dengan status pekerjaan utama: berusaha sendiri sangat kecil dibanding laki-laki, disebabkan akses perempuan terhadap sumber modal untuk membuka usaha sendiri relatif terbatas. Dalam hal pemanfaatan bantuan melalui Program PEN, masalah ketimpangan akses berbasis gender masih terjadi. Kedepan, dalam perspektif yang lebih luas, akses terhadap sumber modal dan faktor produksi lainnya perlu menghapus ketimpangan gender tersebut.
  • Dari segi lapangan usaha, kelompok angkatan kerja perempuan lebih dominan dibanding laki-laki pada lapangan usaha pencipta nilai tambah (industri pengolahan). Bila kecenderungan ini paralel dengan kepemilikan UMKM yang bergerak dibidang industri pengolahan, maka bantuan Program PEN perlu didiversifikasi untuk mengakomodir kelompok angkatan kerja perempuan tersebut.
  • Selain itu, kesadaran UMKM untuk memanfaatkan bantuan melalui kolaborasi menggunakan platform e-commerce relatif rendah, karena sebagian besar UMKM tidak menggunakan teknologi informasi dalam memasarkan produknya dan mereka juga tidak berusaha mengadaptasikan usahanya dengan mulai mendigitalisasi bisnis mereka. Jika di Jawa-Bali kondisinya demikian, maka diluar Jawa-Bali kondisinya akan lebih parah. Kondisi demikian menjadi tantangan besar untuk mentransformasi UMKM memasuki lanskap bisnis yang terus berubah.

Strategi Pemulihan:

  • Salah satu strategi pemulihan yang diusulkan berkaitan dengan strategi pendanaan melalui perbankan. Dari segi skala usaha, usaha mikro umumnya memiliki akses perbankan yang terbatas. Hal ini juga berkaitan dengan status badan hukum usaha yang bersifat informal. Karena itu menjadi tantangan kedepan adalah mendorong formalisasi badan usaha dan menghubungkan mereka dengan lembaga perbankan.
  • Selain itu, strategi non pendanaan, utamanya berkaitan dengan penguatan aspek SDM. Hasil kajian ini tidak secara spesifik mengurai sisi SDM tersebut. Namun demikian, dilihat dari statistik ketenagakerjaan, proporsi angkatan kerja yang bekerja dengan status utama: pekerja tanpa upah masih relatif besar, baik pada aras nasional maupun wilayah. Sejatinya mereka sangat berpotensi memasuki dunia UMKM, akan tetapi kondisi dan permasalahan mereka belum teridentifikasi baik. Untuk itu masih diperlukan kajian untuk memastikan permasalahan dan kebutuhan mereka, sehingga dapat diintervensi melalui tindakan capacity building yang tepat.
  • Tekanan sisi permintaan dan penawaran yang dihadapi UMKM berkenaan dengan Pandemi C19, walaupun bersifat siklikal, telah membuka salah satu sisi lemah UMKM. Tekanan sisi permintaan berkaitan dengan rantai pasar; dan tekanan sisi pernawaran berkaitan dengan rantai pasok. Karena itu, paska Pandemi C19, dalam situasi dimana lanskap bisnis telah berubah dan pada tataran individu terjadi perubahan perlaku konsumen, maka penanganan terhadap UMKM perlu fokus pada pembentukan dan penguatan rantai pasar dan rantai pasok. Diperlukan pengorganisasian yang baik dan pemantapan infrastrruktur, agar biaya yang ditanggung UMKM untuk memasuki rantai pasar dan membentuk rantai pasok relatif murah.

Catatan:

(Tulisan ini merupakan versi lain dari tulisan saya sebagai Penanggap pada acara Road to Grand Launching Buku: “Keeping Indonesia Safe” dengan Thema: How Fiscal Policy Cushioning MSME’s, khusus Chapter: Wheathering and Recovering from the Pandemic: Lesson Learnt from MSME’s in Indonesia, oleh Jahen Fachrul Rezki, dkk, diterbitkan oleh Kementrian Keuangan R.I. Acara ini berlangsung di Univ. Negeri Undana Kupang, 22/09/2022).*/)

Center Align Buttons in Bootstrap