Oleh Tuan Kopong, MSF
Setelah pelaksanaan Pink Sunday bertemakan Moral Choice pada 13-Februari simpul-simpul kekuatan terus digalakan dan dikuatkan. Disamping doa serentak yang dilakukan sejak setahun yang lalu, suara moral dan suara kenabian dari Gereja terus dilakukan sebagai bentuk perlawanan menolak lupa peristiwa EDSA People Power melalui gerakan bersama yang dikenal dengan sebutan Simbayanihan (Gereja Dan Masyarakat).
Gereja pada pemilu tahun ini sungguh-sungguh turun gunung karena yang maju menjadi calon presiden adalah Bong Bong Marcos (BBM). Tidak seperti pada tahun 2016 Gereja dalam arti para Uskup dan para imam hanya memberikan himbaun moral untuk memilih yang terbaik termasuk memilih wakil presiden yang sesuai dengan iman dan moral Kristiani.
Ya, baik keuskupan-keuskupan, para imam, suster, komunitas-komunitas Katolik, OMK (Orang Muda Katolik) pada pemilu tahun ini harus turun gunung karena BBM. Dukungan para Uskup, para imam, religius dan biarawan serta orang muda semata-mata untuk menjegal langkah BBM menjadi seorang presiden agar tidak melupakan gerakan revolusi EDSA People Power-Februari 1986 yang oleh BBM sebagaimana dikatakannya pada 10 Januari 2020 bahwa para pengajar yang mengajarkan EDSA People Power dalah kebohongan publik.
Gerakan moral choice yang dilakukan memang mendapat banyak tantangan terutama sebagian besar pemilih dari kalangan umat Katolik terutama mereka yang tua dan kelas menengah kebawah yang sejatinya mengalami peristiwa martia law yang diberlakukan oleh Marcos, ayah Bong Bong Marcos yang menjadi presiden diktator pada zaman itu. Kelompok ini seakan menutup mata dan telinga serta melupakan peristiwa berdarah yang mengorbakan banyak nyawa ketika terjadi gerakan revolusi EDSA People Power.
Gerakan Simbayanihan terus melakukan pencerahan kepada masyarakat dan umat dengan mengunjungi mereka dari rumah ke rumah untuk menjelaskan prinsip moral dalam pemilu sesuai ajaran moral Kristiani dan juga mengingatkan mereka agar tidak melupakan dan mengkhianati perjuangan masyarakat Filipina untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan yang selama masa kepemimpinan Marcos mengalami penindasan dan penderitaan.
Saya sendiri juga terus menjelaskan kepada umat, tidak hanya umat di paroki saya bahwa memilih pemimpin bukan karena faktor kesukuan, uang dan juga kesukaan pribadi tetapi juga melihat rekam jejak dan karya yang pernah dilakukan untuk kebaikan bersama masyarakat Filipina.
Usaha dan gerakan Simbayanihan dan juga penjelasan dari saya ada yang membuahkan hasil dimana mengubah pilihan dari BBM-Sara menjadi Leni-Kiko, namun banyak pula yang tetap bersisikuh pada pilihan mereka yaitu BBM-Sara. Faktor kesukuan yang kita kenal dengan politik identitas membuat banyak pemilih BBM-Sara yang nota bene orang tua dan kelas menengah kebawah yang mengalami peristiwa EDSA People Power merasa bangga jika Bong Bong Marcos menjadi presiden apapun keburukan dan kediktatoran yang dilakukan oleh ayahnya pada masa itu.
Bahkan dalam situasi seperti ini yang sangat disayangkan adalah sebagian oknum para imam dan Uskup yang sejatinya menjadi penuntun moral dalam pemilu Filipina justru berjuang keras untuk memenangkan BBM-Sara. Mereka meyakinkan masyarakat dan umat bahwa BBM-Sara akan mampu mengembalikan kejayaan Filipinan tanpa peduli pada kediktatoran seorang Marcos dan Duterte yang menghabisi ribuan nyawa dan meninggalkan ribuan anak yatim piatu dan janda serta duda dalam program Duterte; “Perang melawan narkoba” dengan tembak mati di tempat tanpa ada proses hukum terlebih dahulu.
Pemilu Filipina tahun ini memang menyita banyak perhatian dan menguras energi, termasuk saya sebagai seorang misionaris asing yang karena cinta pada masyarakat Filipina berjuang bersama Gereja, para Bapak Uskup dan rekan iman dan gerakan Moral Choice karena pemilu Filipina tahun ini bukan soal BBM-Sara vs Leni-Kiko dan calon lainnya tetapi lebih pada sikap dan prinsip moral antara Melupakan dan Mengkhianati Perjuangan EDSA People Power vs Menolak Lupa EDSA People Power.**/)Manila, 16 Mei 2022
Bersambung…