KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Tragedi Kabaru, 27 November 2021 tidak dapat dilepaskan dari rencana Gubrnur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat mengalihfungsikan instalasi ternak Kabaru dari pusat pembibitan dan pengembangan sapi ongol (SO), menjadi pusat pemeliharaan dan pengembangan sapi wagyu (SW), bekerja sama dengan investor yang punya dana, punya keahlian dan pengalaman mengembangkan SW.
“Tujuannya adalah untuk menghasilķan daging sapi kualitas premium dengan harga premium pula. Dengan demikian kantong PAD bertambah tebal untuk membiayai pembangunan di NTT. Ibaratnya memperbesar dulu rotinya, baru kemudian dibagikan,” sebut Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi NTT, Hugo Rehi Kalembu kepada SelatanIndonesia.com, Sabtu (4/12/2021).
Disebutkan Hugo, ide pengembangan SW ini disampaikan pertama kali di Lewa saat Laiskodat berkampanye tahun 2018. “Saya sendiri hadir saat itu. VBL mengatakan, bahwa akan dikembangkan SW di Sumba Timur. Di Jepang, tutur VBL, dagingnya bisa jutaan rupiah. Hanya membutuhkan perawatan dan perlakuan khusus. Tidak boleh leluasa begerak dan harus dipijet setiap hari agar dagingnya empuk kualitas premium,” ujar Hugo.
Ketua Komisi III DPRD NTT ini mengatakan, menurut Kadis Peternakan Provinsi NTT, ide SW ini rupanya direspons posetif oleh Kementrian Pertanian. Bahkan, studi telah dilakukan oleh Kementan, dan Sumba layak dan sangat cocok untuk pengembangan SW. “Sayang kegiatan FS ini kurang diketahui oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan Dinas Peternakan sendiri. Lebih lanjut Kementan pada TA 202I ini akan menghibahkan 100 ekor SW yang akan dikembangkan di Sumba. Dalam pembahasan Badan Anggaran terhadap RAPBD-P disepakati penyediaan dana dalam rangka persiapan kedatangan SW hibah Kementan, sebesar 2 Milyar,” ujarnya.
Ia menambahkan, pada bulan September 2021, Komisi III yang membidangi Aset Daerah, mengunjungi instalasi peternakan Lili di Kab Kupang. Dari penuturan Kepala UPT Peternakan, bahwa instalasi Lili khusus mengembangkan inseminasi buatan dengan menggunakan ‘semen’ SW. “Tetapi ia sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan Kimisi III, mengapa SW dikembangkan di Sumba? Bukankah Pemerintah Pusat sendiri sejak jaman dulu telah menetapkan SK bahwa Sumba dikhususkan bagi pengembangan dan pemurnian SO ? Jika SW ini kembutuhkan perlakuan khusus, mengapa tak dikembangkan di lokasi Besi Pae, eks peternakan kerjasama dengan Australia, karena dekat dengan Kota Kupang dan Kampus yang menyediakan tenaga pakar yang memadai dan dekat lokasinya, lebih efisien dan efektif,” ujar Hugo.
Disebutkan Hugo, untuk mendukung program peternakan, termasuk pengembangan SW di Sumba, maka Gubernur Laiskodat telah menganggarkan dana multi years untuk pembangunan pabrik pakan ternak di Lili di dekat jalan negara, hanya sayang tak dibangun di Kawasan Industri Bolok. “Pada TA 2022 nanti telah disepakati penyediaan dana 5 milyar untuk kepentingan pengembagan SW terutama untuk Feasibility Study sehubungan dengan desain model kerjasamannya dengan investor, itu penuturan Kadisnak Provinsi NTT. Jadi pada saat Guburnur VBL berdialog dengan Umbu Maramba Hawu, konsep kerjasamanya dengan investor belum ada. Maka memang sulit menjelaskan, bagaimana pengalihan fungsi dan tata kelola instalasi itu dengan efek profitnya bagi PAD, Investor, dan bagaimana imbas CSR dan manfaat ekonominya bagi masyarakat serta manfaat ekonomi bagi kabisu pemegang hak ulayat yang menyerahkan tanah kepada Pemerintah Pusat pada saat itu,” jelasnya.
Hugo menambahkan, menurut Kadis Peternakan Prov NTT, instalasi Kabaru telah dikosongkan dari SO dan sedang dipersiapkan intensif khusus untuk SW. Dua puluh ekor SO eks Kabaru telah diberikan kepada empat kelompok ternak di sekitar instalasi Kabaru dan sisanya sudah dijual untuk PAD. Kini tinggal instalasi ternak Kondamaloba dengan 23 ekor SO yang masih tersisa dari ratusan ekor saat kunjungan Komisi III tahun 2020.
“Kita belum tahu bagaimana gagasan Gubernur VBL tentang nasib SO. Juga harus ada SK Kementan tetang pencabutan SK Mentan yang mengkhususkan Sumba bagi pengembangan dan pemurnian SO. Dari apa yang saya gambarkan di atas, maka kita dapat menebak jalan pikiran bapak Umbu Maramba Hawu, yang mempertanyakan legalitas kepemilikan Pemda Provinsi NTT atas lahan instalasi ternak Kabaru (siapa yang serahkan dan mana surat pelepasan haknya). Barangkali karena fungsi instalasi Kabaru sudah berubah dari fungsi dan tujuannya semula saat diserahkan kepada Pemerintah Pusat, yang semula murni untuk pelayanan kepada masyarakat dan sekarang lebih berorientasi bisnis: penyedian daging kualitas premium, maka kami yang menyerahkan tanah perlu juga dipertimbangkan manfaat ekonomis apa yang kami dapatkan, selain CSR dan anakan turunan SO,” ujar Hugio.
Di pihak lain, Hugo menduga jalan pikiran Pemda Provinsi NTT, bahwa lahan instalasi Kabaru diperoleh dari hasil pengalihan aset Pemerintah Pusat yang berada di daerah NTT, maka tidak perlu lagi ada sounding dengan para pemegang hak ulayat dan ahli waris tetua yang menyerahkan tanah saat itu.
“Menurut hemat saya, kita harus memetik hikmah dari tragedi 27 Nov 2021 tersebut. Kini, sudah saatnya Pemda, baik Provinsi maupun Kabupaten/kota memperhatikan nasib para pemegang hak ulayat tanah kabisu yang dihibahkan, dikerjasamakan, disewakan kepada pihak III, apakah itu investor swasta maupun Pemerintah. Tanah mereka terus menyusut dan tak akan pernah kembali lagi. Jangan biarkan hidup mereka kian merana sementara keuntungan pihak ke III terus bertambah berlipat ganda,” katanya.
Ia menyarankan, dalam setiap akta kerjasama pemanfaatan tanah ulayat yang dihibahkan harus ada klausul yang menjamin bahwa pemberi hibah tanah akan tetap mendapatkan manfaat ekonomi secara khusus sesuai dengan perkembangan usaha. Baginya, inilah cara negara hadir melindungi dan menjamin kesejahteraan warganya. Bagaimana cara mewujudkannya, itulah tugas para pemimpin politik dan Pemerintahan.
“Titik kritisnya ada di sini, Gubernur Laiskodat memandang Umbu Maramba Hawu menghalangi rencana beliau mengembangkan SW di instalasi ternak Kabaru. Gubernur VBL diburu oleh momentum yang dipandangnya tepat untuk mengembangkan SW. PAD akan bertambah. Investir dapat keuntungan, masyarakat juga mendapat manfaat ekonomisnya. Hanya sayangnya, Gubernur VBL tidak dapat menahan diri dan mengendalikan emosinya. Padahal sebagai seorang Gubernur, VBL harus tetap ingat dan taat kepada kewajibannya sebagai Kepala Daerah seperti yang diatur dalam UU no.23 Tahun 2014 tentang Pemerinrahan Daerah. Pasal 67 butir e, menegaskan, agar Kepala Daerah Menjaga Etika dan Norma dalam pelaksanaan urusan penerintahan yang menjadi kewenanngan Pemda. Gubernur VBL seyogyanya memberikan suri tauladan dalam bertutur kata, bersikap dan bertindak serta tidak selayaknya mengeluarkan kata-kata seperti yang diucapkannya kepada bapa Umbu Maramba Hawu,” kata Hugo Kalembu.
Politisi senior Partai Golkar ini mengatakan, terhadap kasus ini ada tiga kemungkinan yang bisa dilakukan. “Pertama, masalahnya dianggap selesai dan kembali seperti biasa. Kedua, ada pihak yang menempuh jalur hukum, perdata maupun pidana. Ketiga, ada upaya rekonsiliasi dengan duduk bersama diatas bentangan tikar perdamaian diatas pelataran adat yang diwariskan turun temurun. Inisiatifnya bisa jadi dari Gubernur VBL, atau datangnya dari rekan-rekan VBL di Forkopimda atau Bupati Sumba Timur sebagai Ina Ama.***Laurens Leba Tukan