Oleh: Frans Sarong
Kelir “kuning” seakan telah menjadi kekhasan NTT. Kesan itu jadi maklum ketika dikaitkan dengan kontestasi politik. Buktinya membentang panjang. Seperti apapun badainya, kelir “kuning” yang menjadi corak Golkar, tetap seru berkibar di bumi Flobamora!
Bukan tema menarik mendiskusikan kemenangan Golkar selama era Orde Baru. Pasalnya, Golkar ketika itu mendapat sokongan kuat dari berbagai elemen dalam rezim Orde Baru. Itulah sebabnya hingga Golkar sudah diprediksi bahkan dipastikan keluar sebagai pemenang mayoritas, jauh sebelum pemilu.
Tahun ini, tepatnya pada Rabu (20/10/2021), Golkar genap berusia 57 tahun. Sekadar mengingatkan, semangat awal pembentukannya dilatarbelakangi upaya mempertahankan ideologi Pancasila dari rong-rongan PKI (Akbar Tandjung dalam bukunya: The Golkar Way, 2008, atau buku: Jejak Karya Golkar NTT, 2018).
Seturut derap sejarahnya, Golkar secara nasional pertama kali mengikuti pemilu tahun 1971. Dari 10 partai pesertanya – sebagaimana disarikan dari berbagai sumber – Golkar langsung menempatkan diri sebagai pemenang utama dengan raihan 34.348.673 suara atau 62,82 % hingga berhak mengantongi jatah 236 kursi DPR RI. Jauh di bawah Golkar yang menempati posisi kedua adalah Partai NU dengan persentasi raihan 18,68 % (58 kursi). Lalu menyusul Parmusi 24 kursi, PNI (20), PSII (10), Parkindo (7) dan Partai Katolik (3).
Catatan kemenangan Golkar secara nasional dengan raihan di atas 60 persen, terus berulang dalam lima pemilu berikutnya, atau hingga pemilu 1997. Bahkan dalam pemilu terakhir itu, kemenangan Golkar melambung tinggi. Raihannya menyentuh 84.187.907 suara atau 74,51 % hingga berhak atas 325 kursi DPR RI. Berbeda dengan pemilu 1971, lima pemilu susulan selama rezim Orde Baru (1977; 1982; 1987; 1992 dan 1997), diikuti tiga partai. Selain Golkar, dua partai lainnya adalah PPP dan PDI.
Rezim Orde Baru yang begitu kokoh selama 32 tahun akhirnya tumbang pada Mei 1998 atas masifnya pergerakan mahasiswa. Peristiwa itu selain menandai lahirnya era reformasi yang antara lain bersemangatkan kebebasan berpolitik di Tanah Air, juga tentu saja menjadi badai tak enteng yang mengancam keberadaan Golkar. Namun faktanya, kelir kuning tetap eksis, meski kejayaannya agak memudar.
Pemilu yang digelar pada 7 Juni 1999 adalah pemilu pertama era reformasi. Pesertanya melonjak tajam, sebanyak 48 partai termasuk Golkar. Kelir atau corak kuning yang menjadi kekhasan Golkar ternyata tetap berdaya, meski rela menempati urutan dua dengan 120 kursi DPR RI dari raihan 23.741.749 suara. PDI Perjuangan menempati posisi puncak setelah berhasil membukukan 35.689.073 suara dan berhak atas 154 kursi DPR RI.
Dalam kondisi tertekan, Golkar pada pemilu 2004 malah kembali bangkit. Beringin keluar sebagai pemenangnya dengan dukungan 24.461.104 suara (21,62 %) atau 128 kursi DPR RI. Gantian PDI Perjuangan bergeser ke posisi kedua dengan 18,31 % (109 kursi). Lima partai susulannya adalah PKB (10,61 %), PPP (8,16 %), PD (7,46 %), PKS ( 7,20 %) dan PAN (6,41 %).
Selanjutnya melalui tiga pemilu terakhir (2009, 2014 dan 2019), Golkar secara nasional terus menempati urutan kedua terutama dari perolehan kursinya, di bawah PDI Perjuangan. Sebut misalnya pada pemilu 2009, Golkar meraih 106 kursi, lalu 91 kursi (2014) dan 85 kursi (2019). Sementara PDI Perjuangan sebagai pemenang utama melalui tiga pemilu periode yang sama masing masing mengantongi 148, 109 dan 128 kursi.
Di NTT
Kejayaan Golkar sejak pemilu 1971 hingga 1997, tidak hanya di level nasional. Selama periode yang sama, tancapan beringin juga kokoh kuat di NTT, bahkan hingga dilabeli “lumbung kelir kuning”.
Agak berbeda dengan kibaran Golkar secara nasional yang rada meredup memasuki era reformasi, Golkar NTT tetap berpendar. Melalui empat dari lima pemilu era rofermasi, Golkar NTT selalu menempati urutan teratas.
Ada beberapa contoh menarik. Sebut misalnya pemilu tahun 1999, pemilu pertama era reformasi. Jika di tingkat nasional PDI Perjuangan bertengger di puncak dengan 154 kursi, dan Golkar di posisi kedua (120 kursi), tidak demikian di NTT. Di provinsi ini, Golkar saat itu tetap keluar sebagai pemenangnya dengan raihan 20 kursi, sementara PDI di posisi kedua (18 kursi).
Contoh lain melalui pemilu 2009, yang secara nasional dimenangi Demokrat (148 kursi). Golkar dan PDI Perjuangan menempati posisi kedua dan ketiga, dengan raihan masing masing 106 dan 94 kursi. Kemenangan Demokrat secara nasional tidak bergaris lurus hingga daerah. Di NTT, kelir kuning tetap moncer. Golkar tetap sebagai pemenang dengan raupan 11 kursi. Sejumlah partai penyusul di antaranyanya PDI Perjuangan (9), Demokrat (7), Gerindra (6) dan Hanura (5). Begitu juga pada pemilu 2014, Golkar NTT tetap bercokol di puncak (11 kursi). Lalu menyusul PDI Perjuangan (10) dan Gerindra (8).
Untuk pertama kalinya sejak pemilu 1971, palu kepemimpinan DPRD NTT lepas dari kader Golkar pada pemilu 2019. Di tingkat provinsi, Golkar dan PDI Perjuangan sebenarnya bersaing ketat. Sama-sama meraih 10 kursi. Namun kali ini Golkar harus merelakan palu kepemimpinan puncak DPRD NTT kepada kader PDI Perjuangan: Emelia Julia Nomleni. Mengutip perhitungan akhir KPU NTT, Golkar berhasil mengumpulkan 349.726 suara. Total suara itu tertinggal 3.714 suara dari raihan PDI Perjuangan NTT yang berhasil membukukan 353.440 suara.
Palu kepemimpinan puncak DPRD NTT pada periode terakhir ini memang lepas dari genggaman kader Golkar. Namun pergeseran terjadi hanya karena kalah suara dalam jumlah sangat tipis, 3.714 suara. Kekalahan yang belum cukup berdaya memudarkan kejayaan Golkar di Flobamora. Golkar dengan kelir kuningnya, masih menjadi corak khas NTT.
Ketua DPD Golkar NTT, Melki Laka Lena, bersama sekretarisnya, Inche Sayuna terus menggulirkan berbagai program pro rakyat dan kerja politik. Contohnya menggelar berbagai bentuk sayembara, pembentukan posko karya peduli sesama, vaksinasi massal dan memediasi kesulitan akses permodalan dan pemasaran yang mengganjal para pelaku UMKM.
Melalui berbagai aksi yang dikemas dalam 8 program strategis, tujuan ujungnya adalah menghadirkan Golkar di tengah masyarakat. Kesemuanya itu adalah paduan aksi mewujudkan tekad: Kembalikan Golkar ke Garda Depan di NTT! Itu berarti, Golkar harus kembali tampil sebagai partai pemenang di bumi Flobamora. Kembali sebagai pemegang palu kepemimpinan puncak DPRD NTT! (*) Penulis, Waket Bidang Media dan Penggalangan Opini Golkar NTT