KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Hugo Rehi Kalembu menilai, Pemerintah Provinsi NTT teledor dan kurang cermat, serta kurang profesionalan dalam bekerja sehingga implikasinya pada beban bunga pinjaman menjadi bengkak hingga Rp 700 milyar selama 8 tahun beruntun.
“Daerah harus merogoh kantong lebih dalam dengan menggelontorkan bunga sekitar Rp 700 milyar selama 8 tahun, diluar biaya pengelolaan dan biaya provisi sebagai konsekwensi dari Pinjaman Daerah dalam rangka PEN sebesar Rp 1.500.000.000.000,” sebut Hugo Rehi Kalembu kepada SelatanIndonesia.com, Rabu (5/5/2021).
Ketua Komisi III DPRD Provinsi ini menyebutkan, apa yang dilaporkan oleh Kepala Badan Keuangan Daerah Provinsi NTT Zakarias Moruk pada rapat Komisi III DPRD NTT hari ini, sungguh mengejutkan. Betapa tidak, Pinjaman Daerah dalam rangka PEN sebesar Rp 1.500.000.000.000,- yang disepakati dalam pembahasan dengan Komisi III DPRD NTT adalah pinjaman dengan bunga nol persen. Dan, hanya dikenakan biaya pengelolaan per tahun sebesar 0,185% dan biaya provisi sebesar 1% dari jumlah pinjaman sesuai dengan pasal 2 (2) PMK Nomor 105 tahun 2020.
“Tadi dalam laporan Kaban Keuangan, berubah menjadi pinjaman dengan suku bunga tinggi sebesar 6,19% dengan tenor pengembalian selama 8 tahun sesuai PMK 179 tahun 2020 yang diundangkan 12 November 2020,” sebut Hugo Kalembu.
Menurut Hugo Kalembu, sebenarnya PMK 179 tahun 2020 juga masih memberi kesempatan kepada Daerah untuk mendapatkan bunga nol persen seandainya Pemda berhasil memasukan permohonan pinjamàn sampai dengan akhir November 2020 sesuai dengan pasal 10 ayat (1a), karena pinjaman tersebut masih masuk kategori pinjaman tahun anggaran 2020 dengan bunga nol persen.
“Tetapi karena Pemda NTT sampai dengan akhir November 2020 belum juga memasukan Permohonan Pinjaman maka pinjaman daerahnya dimasukan kategori Pinjaman PEN tahun anggaran 2021, yang oleh Mentri Keuangan telah dikenakan bunga dengan memggunakan 3 kategori yaitu masa pengembalian 3 tahun, bunga 5,30%; masa pengembalian 5 tahun, bunga 5, 66% dan masa pengembalian 8 tahun, bunga 6,19 %, dan alternatif kategori bunga inilah yang dipilih Pemda NTT,” sebutnya.
Sehingga, Hugo menilai, hanya karena kekurang-cermatan, kekurang- profesionalan kerja, dan kurang komunukasinya Pemda NTT dengan Kementrian Keuangan melalui PT SMI, NTT harus kehilangan 700 milyar lebih. “Ini adalah harga dari sebuah keteledoran yang sangat mahal. Padahal pembahasan di komisi III DPRD Provinsi NTT sudah dilakukan sejak September 2020, sehingga Pemda sebenarnya cukup memiliki waktu untuk membuat dan menyampaikan proposal pinjaman PEN ke Kementrian Keuangan sesuai apa yang dipersyaratkan oleh pasal 10 ayat (1a) PMK 179 tahun 2020,” ujar Hugo Kalembu.
Dalam kondisi seperti ini, Hugo Kalembu mengatakan, adalah bijaksana manakala Pemda NTT kembali melakukan pengkajian ulang dan melakukan pembahasan intensif dengan mitra Komisi III DPRD NTT untuk mendapatkan masukan sehingga tidak memberatkan APBD selama8 tahun mendatang. “Juga tidak membatasi ruang gerak kepala daerah masa jabatan berikutnya dalam mengelola APBD,” sebutnya.
Dikatakan Hugo, dalam kaitan dengan beban bunga yang memberatkan inilah, maka perlu dikaji. “Misalnya untuk memgurangi program/kegiatan yang sebenarnya masih membutuhkan kajian lagi atau Pemda kembali kepada plafon pinjaman Rp 900 Milyar seperti yang telah disetujui DPRD, tetapi hanya dikabulkan separohnya oleh Kemendagri pada TA 2020. Atau juga tetap pada rencana pinjaman Rp 1,5 Trilyun tetapi dilengkapi dengan analisis sumber dana pengembalian yang sungguh-sungguh potensial yang dapat diaktualkan dari tahun ke tahun untuk menutup pokok pinjaman beserta bunganya selama 8 tahun anggaran,” ujar Hugo.
Pinjaman 1,5 T Tak Mengganggu Postur APBD NTT
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengaku optimis, pinjaman dana PEN melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 1,5 Triliun, dalam pengembaliannya tidak akan mengganggu postur APBD Provinsi NTT.
Pasalnya, dengan menyelesaikan pembangunan infrastruktur jalan provinsi di NTT dengan menggunakan dana pinjaman tersebut akan selesai pada tahun 2020. “Maka, pada tahun 2023 dan seterusnya, tidak ada lagi alokasi dana untuk membangun jalan provinsi, sehingga anggaran yang selama ini rutin dialokasikan ke Dinas PUPR untuk membangun jalan, bisa dimanfaatkan untuk pengembalian bunga pinjaman, bahkan untuk mengembalikan pokok, juga bisa untuk membiayai kegiatan pembangunan lain,” sebut Kepala Badan Keuangan setda Provinsi NTT, Zakarias Moruk kepada SelatanIndonesia.com, Rabu (5/5/2021).***Laurens Leba Tukan



Komentar