Robert Francis Prevost: Sang Augustinian dari Chicago

236
Paus Leo ke XIV sesaat setelah diumumkan menjadi Paus ke 267 di balkon utama Basilikan Santo Petrus, Vatican, Roma, Kamis (8/5/2025). Foto: tangkapan layar vaticanmedialive

VATIKAN,SELATANINDONESIA.COM – Di antara nama-nama besar dalam konklaf, dia bukan yang paling sering disebut. Tapi pada akhirnya, dialah yang melangkah ke balkon Basilika Santo Petrus malam itu: Robert Francis Prevost, uskup, teolog, dan mantan misionaris asal Amerika Serikat, kini dikenal dunia sebagai Paus Leo XIV.

Lahir di Chicago, 14 September 1955, Prevost adalah anak ketiga dari empat bersaudara dalam keluarga Katolik kelas menengah. Ia menempuh pendidikan filsafat dan teologi di Amerika Serikat dan Roma, sebelum masuk Ordo Santo Agustinus (OSA), sebuah komunitas religius yang mengakar kuat pada warisan intelektual dan hidup komunitas.

Jauh sebelum memasuki dunia kuria, Prevost menghabiskan lebih dari satu dekade sebagai misionaris di Chiclayo, Peru. Di sana, ia bukan hanya menjadi pastor, tetapi juga pendidik dan penggerak sosial yang hidup bersama umat di wilayah miskin dan tertindas. Pengalamannya di Amerika Latin membentuk sikap pastoralnya: rendah hati, dekat dengan umat, dan berpihak pada kaum lemah.

Pada 2014, Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai Uskup Chiclayo, Peru, dan tak lama kemudian ia kembali ke Roma untuk bertugas sebagai Prefek Kongregasi untuk Uskup, pos penting yang mengatur penunjukan para uskup di seluruh dunia. Peran ini memperlihatkan pengaruhnya dalam formasi hierarki Gereja yang lebih terbuka dan responsif terhadap isu sosial.

Reputasinya sebagai reformer senyap menarik perhatian dalam konklaf. Ia dikenal menolak polarisasi, menghindari retorika tajam, dan lebih memilih dialog serta pembaruan pastoral yang konkret.

Nama Leo XIV yang ia pilih bukan tanpa makna. Ia mengambil inspirasi dari Paus Leo XIII (1878–1903), sosok intelektual besar yang mempertemukan iman Katolik dengan dunia modern dan menulis ensiklik penting Rerum Novarum tentang keadilan sosial dan hak buruh. Pesan itu kini menemukan gaungnya kembali dalam sosok Leo XIV, yang akan memimpin Gereja di tengah ketimpangan global, krisis iklim, dan kecemasan generasi muda terhadap lembaga keagamaan.

Sebagai Paus dari Amerika Serikat, Leo XIV mencatat sejarah: ia adalah orang Amerika kedua yang terpilih sebagai Paus setelah spekulasi selama beberapa dekade tentang kemungkinan kepemimpinan dari “Dunia Baru.”

Namun bagi Paus Leo XIV, asal bukanlah hal utama. “Saya adalah putra Gereja, bukan bendera,” katanya dalam wawancara beberapa tahun lalu. Kini, sang putra Gereja itu memanggul warisan dua ribu tahun, dan memimpin umat Katolik dalam pelayaran baru melintasi zaman yang penuh gelombang.

Salam perdana

Dari balkon Basilika Santo Petrus, kalimat pertama Leo XIV adalah “Damai sejahtera bagi kalian semua” ujarnya sembari melambai ke ribuan orang di Alun-alun Santo Petrus, seperti dilansir dari Kompas.id.

Ia menyebut kalimat itu sebagai salam pertama dari Kristus yang bangkit. “Gembala yang baik yang telah menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Saya juga ingin salam damai ini masuk ke dalam hati kita dan keluarga kita,” ujar imam kelahiran AS yang lalu jadi warga negara Peru itu.

Ia juga menyinggung pendahulunya, Paus Fransiskus. “Paus yang memberkati Roma, memberikan berkatnya kepada seluruh dunia pada pagi Paskah itu. Izinkan saya untuk menindaklanjuti berkat itu. Tuhan mengasihi kita. Tuhan mengasihi semua orang. Kejahatan tidak akan menang,” katanya.*/)llt

 

Center Align Buttons in Bootstrap