Katolik di Tanah Santri, Buku Karya Anak NU Dipelopori Melki Laka Lena

792
Kiri: Deni Iskandar penulis buku Katolik di Tanah Santri ketika bertemu dan menyerahkan buku hasil karyanya kepada Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo. Foto: Dokumen pribadi DI. Kanan; Buku Katolik di Tanah Santri karya Deni Iskandar

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Seorang anak santri yang mondok di Pesantren milik Nahdatul Ulama (NU) salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia menulis sebuah buku dengan judul menarik, Katolik di Tanah Santri.

Buku ini ditulis oleh Deni Iskandar mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dididik dengan aliran Islam yang moderat. Dia menulis buku ini dari hasil risetnya ketika menyelesaikan pendidikan Strata-1 di Prodi Studi Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bahkan, dalam buku tersebut tertera sambutan dari Prof. Dr. Ignatius Kardinal Suharyo dan Kata Pengantar oleh Emanuel Melkiades Laka Lena.

“Pertimbangan saya mengangkat tema Katolik, itu karena, kehadiran umat Katolik di Labuan, Kabupaten Pandeglang ini unik. Secara populasi penduduk, jumlah pemeluk agama Katolik di Labuan tahun 2019 berdasarkan data Stasi, secara keseluruhan berjumlah sebanyak 105 orang, dengan jumlah total 44  Kepala Keluarga,” sebut Deni Iskandar kepada SelatanIndonesia.com, Rabu (4/5/2022).

Meski demikian, sebutnya, sekalipun umat Katolik ini sedikit di Labuan, tapi tidak membuat umat Katolik ini, tidak eksis. Ada banyak karya nyata yang diberikan umat Katolik di Labuan ini, salah satunya dibidang Pendidikan.

Disebutkan, hadirnya, Lembaga Pendidikan, bernama Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Bogor ini, adalah satu karya nyata umat Katolik di Labuan dan Yayasan ini berdiri sejak Tahun 1959.

“Saya memilih judul buku ini, Katolik di Tanah Santri, tentu didasarkan pada jejak historis. Jadi titik awal penyebaran Islam di Pandeglang ini, muara awalnya dimulai di daerah Labuan-Caringin.  Pada tahun 1881 sebelum Gunung Krakatau meletus, itu Islam sudah ada.  Pasca meletusnya Gunung Krakatau, tahun 1883 Islam juga semakin berkembang.   Adapun Tokoh-Tokoh Islam pada saat itu diantaranya, Syekh Tubagus Muhamad Asnawi, Syekh Muhammad Ilyas Abdul Muqri (Abuya Muqri) dan KH. Syama’un, ketiga tokoh ini, menyebarkan ajaran Islam itu melalui pendekatan Tarekat, dan nama Tarekat yang disebarkannya itu adalah, Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah. Puncak keberhasilan umat Islam itu adalah pada saat melawan Penjajahan Belanda, pada tahun 1926. Itu adalah gerakan Tarekat, yang terjadi di Labuan. Oleh karena itulah, nama Labuan ini diberi nama Tanah Santri,” jelasnya.

“Nah, uniknya, di Labuan ini meskipun kota Santri, namun justru di dalamnya ada semua pemeluk agama, salah satunya pemeluk Agama Katolik. Dan kehadiran Umat Katolik di Labuan ini, sepanjang sejarahnya, tidak pernah diganggu, bahkan pada saat adanya peristiwa Cap Gedor Tahun 1965 dan 1998, masyarakat Labuan ini justru bahu membahu saling melindungi, terutama sikap masyarakat Labuan terhadap pendatang, yang itu beragama di luar Islam,” kisahnya.

Dikatakan Deni, umat Katolik di Labuan ini, semuanya adalah pendatang. Tapi meskipun kondisinya demikian, kehadiran umat Katolik di Labuan, yang notabenenya sebagai Kota Santri, itu diterima oleh masyarakat setempat.

Bahkan di sekolah Mardiyuana di Labuan itu, meskipun Yayasan Mardiyuana, sekolah Katolik itu milik Keuskupan Sufragan Bogor, namun yang sekolah disana itu, justru kebanyakan adalah umat Islam setempat. Dan kehadiran lembaga pendidikan itu sangat bermanfaat dan maslahat sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ia juga mengaku bersyukur dan berterimaksih kepada Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena. Pasalnya, ketua DPD I Golkar NTT itu punya andil besar dalam proses penerbitan buku karyanya. “Saya kenal Bang Melki itu, karena beliau adalah senior dan tokoh PMKRI. Sementara itu saya aktif di HMI, dan saya memang lahir dari kalangan keluarga besar Nahdhatul Ulama (NU) dulu saya Mondok di Pesantren NU,” sebutnya.

Deni menambahkan, untuk dapat memperoleh buku ini sangatlah muda. “Kebetulan buku ini tidak dijual. Tapi kalau pun misalnya ada yang beli, maka hasil pembeliannya ini, 40 persen itu didonasikan kepada Anak Yatim Piatu.  Kebetulan kami juga dalam waktu dekat ini juga akan segera launching buku tersebut,” ujar Deni.

Potret Kehidupan Umat Katholik di Labuan, Pandeglang-Banten: Sebuah Catatan Ringkas oleh Deni Iskandar

Kehidupan sosial masyarakat dan sosial keagamaan di Labuan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, sejak dahulu hingga saat ini kondisinya begitu beragam. Masyarakat Labuan secara umum terdiri dari suku Jawa, Sunda, Bugis, Kalimantan dan Tionghoa. Dengan tingkat populasi penduduk beragama Islam, Kristen Protestan, Hindu-Buddha, Konghucu dan Katholik. Hubungan sosial masyarakat dan sosial keagamaan masyarakat Labuan yang beragam itu, dari sejak dahulu hingga saat ini, berlangsung sangat harmonis, rukun dan damai. Terutama hubungan masyarakat pemeluk agama Islam dengan Katholik, maupun sebaliknya, umat Katholik dengan umat Islam.

Berdasarkan peta wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang. Labuan adalah sebuah kecamatan yang memiliki luas wilayah sepanjang 127.959 Ha, dari Daratan 46.559 M2, Laut 40.153 M2 dan Sawah 41253 Ha, dengan Ketinggian+ 1-4 meter dari Permukaan Laut. Saat ini, Kecamatan Labuan memiliki Sembilan (9) Desa, diantaranya Desa Banyubiru, Teluk, Caringin, Kalanganyar, Banyumekar, Cigondang, Rancateureup, Sukamaju dan Desa Labuan. Dengan jumlah kepadatan penduduk, tercatat pada tahun 2019 sebanyak 54.534 Jiwa, yang terdiri dari 28.295 Jiwa laki-laki dan 26.239 jiwa Perempuan.

Secara geografis, Labuan terletak diantara 06 013’-06024’ Lintang Selatan dan 105 049’-105054’ Bujur Timur dengan Luas Daerah 15.65 km2. Jarak Labuan dari Kabupaten Pandeglang, sepanjang 42 km dengan memiliki batas administrasi, sebelah Utara, kecamatan Carita, Sebelah Timur, kecamatan Cikedal, Sebelah Selatan, kecamatan Pagelaran dan Sebelah Barat Selat Sunda.

Menurut Kasyim Alfian, secara historis, Labuan berasal dari kata “Labuhan” dengan arti kata Persinggahan atau tempat berlabuh. Pada abad XIV Labuan merupakan sebuah tempat persinggahan para pedagang yang berasal dari Tiongkok dan Portugis. Selain aktivitas berdagang, orang-orang Portugis dan Tiongkok juga singgah dan menetap di Labuan. Oleh karena itu, bila melihat latar belakang masyarakat Labuan saat ini. Saat ini kondisi masyarakat Labuan, terdiri dari masyarakat pribumi dan pendatang.

Pada konteks kehidupan beragama, masyarakat pribumi di Labuan tidak pernah melakukan penolakan, kepada masyarakat pendatang yang notabebenya beragama non muslim. Termasuk kepada masyarakat pendatang yang memeluk agama Katholik. Sementara itu, semua pemeluk agama Katholik di Labuan maupun di luar Labuan dalam lingkup Kabupaten Pandeglang, adalah masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Tionghoa.

Umat Katholik di Labuan secara sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan, kehadirannya cukup diterima oleh masyarakat pribumi Labuan. Hal itu ditandai oleh adanya sekolah Katholik milik Keuskupan Sufragan Bogor yang didirian pada Tahun 1959. Lembaga pendidikan itu bernama, Yayasan Mardiyuana. Pada umumnya, masyarakat Labuan, lebih akrab menyebut nama lembaga pendidikan itu dengan sebutan Sekolah MY.

Ada hal yang unik, bila melihat lembaga pendidikan milik umat Katholik di Labuan ini. Meskipun Yayasan Mardiyuana adalah sekolah Katholik milik Keukupan Sufragan Bogor. Namun, lembaga pendidikan tersebut tidak ekslusif, dan dibuka secara umum. Sehingga jumlah siswa maupun tenaga pengajar di Yayasan Mardiyuana tersebut, tidak semuanya pemeluk agama Katholik, akan tetapi beragam. Saat ini, jumlah siswa di Yayasan Mardiyuana tersebut teridiri dari siswa beragama Islam, Kristen Protestan, Konghuchu, Hindu-Buddha, dan Katholik.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan penulis. Sejak didirikannya Yayasan Mardiyuana oleh Keuskupan Sufragan Bogor pada Tahun 1959. Umat Katholik di Labuan, tidak pernah sama sekali menjadikan lembaga pendidikan tersebut untuk merekrut bahkan mensyiarkan ajaran-ajaran agama Katholik kepada umat yang notabenenya beragama di luar Katholik, seperti Islam, Kristen Protestan, Hindu-Buddha dan Konghucu. Bahkan, kehadiran umat Katholik di Labuan ini, dari dahulu hingga saat ini hanya fokus pada aktifitas mengajar dan berdagang dan bermasyarakat. Sehingga, kehadiran umat di Labuan, sebagai entitas yang minor itu diterima masyarakat Islam.

Pada saat terjadinya peristiwa “Cap Gedor” pada tahun 1965-1966, dimana peristiwa itu adalah peristiwa pembantaian pada orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) disertai dengan munculnya sentimen “Anti China”. Masyarakat pribumi di Labuan, tidak menjadikan peristiwa tersebut, sebagai upaya kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa. Dalam Istilah Onghukam, peristiwa “Cap Gedor” lebih identik dengan peritiswa “Amuk”. Dimana jutaan orang PKI dan Tiongkok dibantai habis.

Sebaliknya, provokasi secara nasional yang dilakukan negara pada tahun 1965-1966 itu, tidak dijadikan sebuah momentum oleh masyarakat Labuan, untuk juga membantai orang-orang Tiongkok dan Non Muslim. Sebaliknya, masyarakat pribumi Labuan, justru malah ikut serta dan aktif melindungi masyarakat pendatang, terutama orang-orang Tiongkok dan Non Muslim yang meliputi umat Kristen Protestan, Hindu-Buddha dan umat Katholik di Labuan.

Adanya peritiwa “Cap Gedor” pada tahun 1965-1966. Rupanya menjadi sebuah babak baru bagi perkembangan umat Katholik di Labuan. Masyarakat Labuan yang berasal dari Tiongkok dan turunan Tiongkok yang awalnya adalah pemeluk agama Konghucu tersebut, berbondong-bondong melakulan tindakan gerakan pindah agama. Tindakan yang dilakukan masyarakat Labuan asal Tiongkok dan keturunan Tiongkok melakukan gerakan pindah agama itu sangat beragam. Ada yang pindah memeluk agama Islam dengan skema perkawinan silang, ada yang masuk Hindu-Buddha, Kristen hingga menjadi pemeluk agama Katholik dengan cara di baptis.

Namun, dari adanya peristiwa “Cap Gedor” itu, yang harus dicatat bahwa, tingkat populasi umat Katholik di Labuan, tidak berkembang pesat. Hal itu terlihat jumlah umat Katholik yang lebih sedikit dibandingkan dengan umat Kristen Protestan, Konghucu maupun Hindu-Buddha. Meskipun pada faktanya, umat Katholik sendiri mempunyai lembaga pendidikan bernama Yayasan Mardiyuana.

Bila melihat uraian diatas, maka penulis mempunyai kesimpulan bahwa, kehadiran Sekolah Katholik di Labuan, justru tidak dijadikan sebagai alat atau sarana umat Katholik untuk bagaimana umat Katholik merekrut atau mensyiarkan agama Katholik agar umat yang beragama di luar Katholik memeluk agama Katholik. Adapun peristiwa “Cap Gedor” dimana masyarakat Labuan yang berasal dari Tiongkok memeluk agama Katholik, lebih di dasarkan pada rasa ketakuan orang-orang Tiongkok pada peristiwa yang terjadi waktu itu.

Hal lainnya juga dibuktikan dengan, basis kurikulum Sekolah Katholik yang dibuat oleh pihak Yayasan Mardiyuana. Dimana pada setiap mata pelajaran agama yang diberikan kepada setiap siswa, itu dipisahkan. Misalnya, untuk siswa yang memeluk agama Islam yang belajar Yayasan Mardiyuana, diberikan mata pelajaran agama Islam dengan status tenaga pengajar adalah seorang muslim.

Begitu juga sebaliknya, saat siswa pemeluk agama Katholik belajar mata pelajaran agama Katholik, siswa yang beragama non Katholik termasuk umat Islam, tidak diperbolehkan (Dilarang) untuk mengikuti mata pelajaran agama Katholik. Menurut hemat penulis, Yayasan Mardiyuana sebagai sekolah Katholik ini, mempunyai batasan etik, dan umat Katholik sangat paham soal etika beragama. Pemberlakuan tersebut adalah bagian dari penghormatan umat Katholik kepada pemeluk agama lain.

Secara keseluruhan, berdasarkan data Stasi tahun 2018. Jumlah umat Katholik di Labuan hanya ada sebanyak 108 orang dan itu terdiri dari 31 Kepala Keluarga (KK). Jumlah ini, terhitung paling sedikit, dari jumlah pemeluk agama di luar Katholik. Seperti halnya pemeluk agama Islam, Kristen Protestan, Hindu-Buddha, dan Konghuchu. Meskipun ditakdirkan Tuhan sebagai umat yang minor.

Umat Katholik di Labuan, dalam kehidupan sosial masyarakat dan sosial keagamaan. Kehadiran umat Katolik di Labuan, sangat diterima oleh masyarakat setempat. Hubungan sosial masyarakat dan sosial keagamaan, antara umat Katholik dan umat Islam di Labuan, sangat harmonis. Hal itu dibuktikan dengan, adanya nama Gang disebuah pintu masuk tempat menetap dan tinggalnya umat Katholik di Labuan, bernama Gang Paus.

Buku berjudul “Katholik di Tanah Santri” ini ditulis berdasarkan hasil penelitian saat penulis menempuh pendidikan S-1 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Fakultas Ushuluddin pada Prodi Perbandingan Agama/Studi Agama-Agama, Sekarang. Dalam buku “Katholik di Tanah Santri” ini, penulis memotret secara umum kehidupan umat beragama di Labuan, dan di fokuskan pada potret kehidupan umat Katholik.

Penulis tertarik meneliti umat Katholik di Labuan Kabupaten Pandeglang ini, disebabkan karena, Pertama, hadirnya Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Bogor yang murni dijadikan sebagai lembaga pendidikan, tanpa ada embel-embel lainnya. Kehadiran Yayasan Mardiyuana sebagai lembaga pendidikan itu, dinilai masyarakat setempat cukup membantu.

Sebab secara faktual, Yayasan Mardiyuana sebagai lembaga pendidikan, dibuka untuk umum. Sehingga dengan begitu masyarakat setempat bisa menikmati kegiatan belajar mengajar di Yayasan tersebut. Bahlan dominasi murid maupun tenaga pengajar di Sekolah tersebut, lebih banyak di dominasi oleh pemeluk agama Islam.

Kedua, Keramahan umat Katholik didasarkan pada penilaian penulis pada sosok Almarhumah Murti Asih seorang perempuan Katholik dan Herman Joseph Marsandi, seorang tenaga pengajar di Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Bogor. Semasa hidupnya, sosok Almarhumah ikut serta mendidik penulis, bahkan seorang Kepala Desa Labuan, Eka Arisandi Junjunan menyebut Murti Asih adalah sorang Ibu Kemanusiaan.

Saat ini, Almarhumah dimakamkan di Paroki Rangkas, Kabupaten Lebak, tempat umat Katolik beribadah setiap 1/2 Minggu sekali. Dalam hal ini, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih mendalam terkait dengan kehadiran umat Katolik di Labuan Kabupaten Pandeglang secara lebih rinci. Buku “Katholik di Tanah Santri” ini, bagi penulis kurang lengkap, dari sisi Historis. Karena penulis kekurangan data, untuk mengungkap, siapakah orang Katholik yang pertama kali datang ke Tanah Banten, terkhusus ke Tanah Santri (Pandeglang).

Dalam buku ini, penulis hanya baru bisa mengulas seputar sejarah kedatangan umat Katolik di Banten, dengan didasarkan pada peran Mgr. Nicholas Geishe, seorang belanda yang datang ke Banten dan menetap di Badui, Kabupaten Lebak. Ignatius Ranu Handoko, seorang Kepala Sekolah pertama di Yayasan Mardiyuana. Serta Herman Joseph Marsandi Kepala Sekolah Kedua, di Yayasan Mardiyuana.

Metodologi penelitian yang digunakan dalam menulis buku ini, menggunakan metode  penelitian kualitatif dan kuantitatif. Untuk metode kualitatif, penulis mewawancarai Tokoh Umat Katholik, Umat Islam, Aparat Penegak Hukum dilingkup Labuan yang terdiri dari Kepolisian Sektor (Polsek) Labuan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang, yang tediri dari, Pihak Desa, pihak Kecamatan dan Pimpinan Daerah.

Responden wawancara pada umat Islam yang dilakukan penulis meliputi Pimpinan Pondok Pesantren Perguruan Annizomiyyah, Labuan, Pandeglang yang didirikan oleh KH. Tubagus Ahmad Rafei Ali. Pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Kecamatan Labuan. Sementara respondem wawancara pada umat Katholik, meliputi Kepala Stasi Katholik Labuan, Kepala Sekolah Yayasan Mardiyuana Labuan, serta Tokoh sepuh Katolik yang sudah lama menetap di Labuan, dan responden Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Pandeglang, meliputi Lurah, Carik, Camat, dan Wakil Bupati sebagai pimpinan daerah.

Sementara itu, metode kuantitatif yang dilakukan penulis dalam mengukur tingkat kerukunan dan keinginan diantara kedua belah pihak (Islam-Katholik) dilakukan penulis berdasarkan survei. Untuk umat Islam, penulis menyebarkan quisoner seputar pandangan umat Islam terhadap Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Katholik Bogor. Sementara quisioner yang disebarkan pada umat Katholik seputar pandangan atas pemenuhan hak beribadah yang selama ini diberikan oleh pemerintah daerah.

Hasil dari survei tersebut, kehadiran Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Bogor dinilai sangat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat Labuan, Kabupaten Pandeglang. Sementara keingin umat Katholik, memiliki tempat Ibadah belum dapat di wujudkan oleh Pemerintah Daerah, karena jumlah umat Katholik kurang dari 40 Kepala Keluarga.*/)Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap