KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Dua ibu muda tampil paling garang malam itu di Taman Nostalgia, Kota Kupang. Mereka dengan lantang mewakili keluhan nurani para ibu muda di Nusa Tenggara Timur atas ketidakadilan yang dialami kaumnya dalam kasus pembunuhan ibu dan anak di Penkase, Kota Kupang.
Linda dan Grace. Dua perempuan yang nampak cantik nan lembut ini ternyata juga pemberani. Berani, karena di hadapan ratusan masyarakat Kota Kupang yang memadati Taman Nostalgia, Minggu (16/1/2022) malam, dengan penjagaan ketat ratusan aparat Kepolisian, kedua ibu muda ini berorasi dengan lantang. Dalam nada dasar yang sama, meminta Kapolda NTT Irjen Pol. Setyo Budiyanto menegakan hukum setegak-tegaknya terhadap pembunuhan Astrid Manafe dan anaknya Lael Maccabe.
Dengan tas ransel di punggung masing-masing, Linda dan Grace tampil berorasi. Linda dinobatkan lebih dahulu menyampaikan orasi. Diiringi instrumen musik yang seakan menyatu dengan ekspersinya, Linda mengulurkan tangan di depan microfond. Isak tangisnya mulai terdengar, bening air mata mulai mengalir membasahi pipinya yang mulus. “Kau boleh berdusta kepada siapapun. Tetapi tidak kepada nuranimu. Alam kita berbeda, tetapi jawab beta, dengan hati nurani lu yang paling suci,” sebut Linda di awal penampilannya dalam Aksi Damai Jilid V Aliansi Peduli Kemanusiaan yang menggelar Panggung Rakyat di Taman Nostalgia, Minggu (16/1/2022) malam.
Ia lalu melepaskan ransel dipunggungnya dan bertanya kepada masa aksi, “Ini apa,” dijawab tas….ia lalu mengambil botol dalam tas, lalu bertanya. “Ini apa?” dijawab “botol”. Linda lalu membuka isi dalam tasnya, dikeluarkan sehelai selendang tenun khas NTT. “Ini apa…?” dijawab “selendang”. Ia kemudian mengabil sebuah tas berukuran kecil warna coklat lalu bertanya dengan nada gemetar. “Ini apa…? Ini apa….?suaranya kian melengkik, dijawab “tas”. Kemudian ia mengambil sebuah Bra (BH) berwarna coklat lalu bertanya, “Ini apa…? dijawab BH….dia kian berteriak dengan garang, “Iniiiiii apaaaaa?” kembali dijawab “BH”. Linda lalu mengambil tas kecil berwarna coklat, dipegangnya BH di tangan kanan dan tas di tangan kiri. Kembali ia bertanya tas di kanan atau kiri, lalu dijawab dengan lantang para masa aksi. “Besong tolong e, ajar Polda bedakan tas dan BH,” sebutnya mengakhiri penampilannya dan disambut sorak tepuk tangan para masa aksi.
Tas dan BH memang sempat fenomenal dalam deretan proses pengungkapan kasus pembunuhan Asrtid dan Lael. Di berbagai ruang diskusi di jagad maya, Tas dan BH menjdi topik pembicaraan. Pasalnya, Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol. Rishian Krisna Bhudiaswanto menyanggah terkait berita atau opini yang beredar yang menerangkan bahwa tali yang berada di bahu korban adalah tas. Humas Polda menjelaskan bahwa berita tersebut merupakan berita yang tidak benar atau hoax. “Itu merupakan tali BH (Buste Hpunder),” tulis Humas Polda NTT seperti dilansir dari Flores News, Selasa (28/12/2021).
Giliran Grace tampil berorasi. Perempuan muda pemberani yang malam itu mengenakan kemija putih dan celana jins biru menyampaikan orasinya yang ditujukan ke satu orang yaitu Kapolda NTT. Berikut petikan orasinya:
Bapak Kapolda Nusa Tenggara Timur yang Kami hormati, selamat datang di Kota Karang, Nusa yang dulu dikenal sebagai Nusa Terindah Toleransi, Nusa Tempat Ternyaman bagi semua anak bangsa yang datang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Maaf, kami baru bisa menyapa Bapak meski tak saling berjabat. Di bulan Desember 2021, Bapak pasti sudah tahu, atau dengar dari anak buah Bapak, bahwa kami datang di Mapolda untuk bertemu dengan Kapolda membawa kegundahan yang sudah lama membeku di sanubari kami.
Tetapi waktu itu Kapolda Lotharia Latif tak mau diganggu, mungkin sedang mengemas barang-barangnya untuk meningalkan kota ini. Kami memakluminya, meski kami harus kembali dengan wajah muram sambil mengurut dada kecewa.
Tanggal 10 Januari 2022, kami datang lagi, membawa keluh yang sama dari rakyat Nusa yang kini sepertinya telah menjadi Nusa Tidak Tenteram, Nusa Tanah Terkutuk. Terkutuk oleh karena Nyawa Manusia tak lagi ada harganya. Nusa dimana, harga diri tak lagi berarti. Yang harkat dan martabat kemanusiaannya diinjak-injak serta hak-haknya dicabik-cabik, di hadapan hukum yang semakin tumpul ke atas dan kian tajam ke bawah.
Sayang, di saat itu, lagi-lagi kami harus kembali dengan air mata terurai, karena Bapak tidak mau bertemu. Bapak Kapolda, sejak kepergian Lotharia Latif, Kapolda yang dulu menyiram cuka di atas luka kami, kami sempat bernafas legah setelah mendengar kalau Bapak akan menggantikan posisinya.
Kami bernafas legah, setidaknya karena, karena kami sempat mengikuti rekam jejak Bapak di KPK. Sejak saat itu, kami pun sangat berharap, kehadiran Bapak mampu mengangkat beban berat, mencabut duri yang telah tertancap di hati kami dan merapatkan luka menganga di dada kami. Tapi ternyata, hingga saat ini, Bapak belum memberikan harapan apa-apa.
Ketika kami datang, Bapak mengurung diri di ruangan, di gedung mewah yang dibangun di atas keringat dan darah rakyat yang berjuang. Sementara di depan gerbang istanamu, kau pasang aparat, yang berdiri gagah mengadang massa rakyat, dengan wajah penuh amarah, seperti tembaga yang dibalut bara api yang siap membakar musuh. Kami pun dikawal bagai penjahat.
Hei… Kami ini bukan musuh aparat, kami adalah orang-orang yang telah dianggap keparat karena menuntut keadilan. Kami adalah rakyat yang dianggap membangkang karena meminta hak-hak kami dilindungi.
Bapak Kapolda yang kami hormati, selagi kami masih menaruh rasa hormat pada Bapak, sebelum kami benar-benar kehilangan kepercayaan pada institusi Polri, mohon jelaskan kepada kami, apa alasan, sehingga Kau begitu susah untuk bertemu dengan rakyatmu, rakyat yang telah meletakkan kepercayaannya penuh di atas pundakmu?
Apakah seorang Kapolda memang tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan rakyat, hanya boleh melayani para pejabat untuk duduk bicara sambil tertawa, berpangku kaki di ruangan yang dipenuhi fasilitas rakyat?
Bukankah Bapak Presiden, Bapak Kapolri hingga saat ini, masih sering bertemu dengan rakyatnya, bahkan di tengah-tengah kesibukan, mereka masih sempat-sempatnya membaca pesan dari rakyat. Apa istiewanya jabatan Kapoldamu itu? Apakah imej seorang Kapolda itu lebih mahal dari seorang Presiden dan Kapolri di negeri ini? Tolong jelaskan!
Apa bedanya Bapak dengan si Lotharia Latoif itu? Mengapa semangat reformasi birokrasi yang sedang gencar diwacanakan Bapak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak kau terapkan di NTT? Mengapa? Apakah ada orang-orang besar, orang-orang berpengaruh yang ikut bermain dalam kasus ini, sehingga Bapak takut kalau-kalau karier Bapak dipotong, jika Bapak bersikap jujur?
Bapak Kapolda yang kami hormati, jangan pernah merendahkan kewibawaan negara dan institusi polri yang begitu besar dan terhormat ini, dengan meletakkannya di bawah telapak kaki para penjahat-penjahat itu, bila memang di dalam kasus kematian Astrit dan Lael ini, ada orang-orang berpengaruh yang mengendalikan kewenangan Bapak.
Bapak harus tahu, di ruangan kerja Bapak yang megah itu, pada dinding-dinding dan sudut-sudutnya ada gemuruh suara tangisan rakyat yang mencari keadilan. Yang pada pintu dan jendelanya, ada bayangan tetesan keringat, air mata dan darah orang-orang yang tertimpa bencana kemanusiaan, Yang nyawanya dihabisi dengan cara keji. Yang saban hari, keluarganya datang berdiri keluh di depan istana Bapak, menagih keadilan.
Dan kau harus ingaattt… Ingat baik-baik Bapak Kapolda, sesewaktu, air matah dan darah itu akan berubah menjadi gelombang bencana bagi siapa saja yang melindungi para penjahat, yang telah mencabut nyawa saudara dan anak kami Astrit dan Lael.
Bapak, baru kemarin, melalui pertemuan virtual, Bapak Kapolri mengarahkan agar, semua Kapolda, Kapolres dan Kapolsek harus bertemu dengan masyarakat untuk berdialog? Apakah Bapak juga ikut dalam pertemuan itu?
Kalau Bapak tidak siap bertemu rakyat, Untuk apa Bapak menerima jabatan Kapolda NTT, kalau toh tujuannya hanya untuk memantau rakyat dari layar kaca? Sementara Atasanmu mengharapkanmu berdialog dengan rakyat.
Bapak Kapolda yang Kami hormati, sudah empat kali kami datang menegetuk pintu istanamu, kami ingin menggugah nuranimu sebagai seorang Bapak yang punya istri dan anak di rumah, yang kelak menjadi kakek untuk cucu-cucumu. Bahwa di depan gerbang tempat kau mengemban tanggung jawab, sebagai peenegak hukum dan keadilan, ada orang tua, Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang saban hari meratapi kepergian anak dan cucu mereka. Yang sampai saat ini, mereka tak pernah tidur dengan nyenyak, tak dapat menikmati makanan dan minuman seperti biasanya. Yang tak lagi tahu bagaimana caranya melemparkan senyum dan tawa gurau. Semua indra mereka dipenuhi dengan ratapan dan jeritan anak dan cucu mereka, Astrit Manafe dan Lael Maccabe, yang sudah dikalang tanah. Yang nyawanya dihilangkan dengan cara begitu keji, lalu dikuburkan dengan cara yang sangat tidak manusiawi.
Bapak Kapolda yang kami hormati, dengan penuh harap, kami keluarga dan masyarakat NTT memohon kepada Bapak, agar mulai hari ini, untuk keluarlah dan temui kalau rakyatmu datang dan meminta keadilan. Khusus untuk kasus yang menimpa Astrit dan Lael, kami akan mengangkat namamu sebagai pahlawan kebanggan kami, manakala hukum dan keadilan kau tegakkan. Astrit dan Lael juga kami yakin akan berdoa dari dalam tanah, memohon kepada Tuhan agar engkau dan keluarga serta anak cucumu selalu diberikan rahmat kebaikan.
Jika tidak, maka kami dan seluruh rakyat Nusa Tenggara Timur, akan mengutuk keras semua orang yang terlibat dalam kasus ini. Kami akan datang dan meminta kepada para leluhur kami, di tanah yang penuh keramat ini, agar dengan caranya sendiri, membalas semua kejahatan yang dengan sengaja dilakukan orang-orang yang terlibat dalam kasus ini, sesuai dengan perannya masing-masing.
Terakhir, saya meminta semua kita yang ada di sini, untuk hening sejenak sambil menundukkan kepala.
Astrit dan Lael, dengarkan ini baik-baik. Kami tahu, bahwa ragamu telah membusuk dan menyatuh dengan tanah yang kami injak ini. Tetapi sebagai orang Timur yang beradap dan berbudaya, Kami yakin dan Percaya, Kalian tidak tidur. Bahwa saat ini juga, jiwa dan rohmu sedang ada bersama kami, ikut serta dalam perjuangan ini dan akan tidur tenang di Firdaus Tuhanmu, setelah memastikan semuanya selesai dengan adil.
Astrit dan Lael, dengarkan ini sekali lagi, kami juga yakin, sejak nyawamu direnggut paksa, gemuruh teriakan, jeritan dan tangisanmu menggema ke seluruh penjuru dunia.
Karena itu, saat ini, kami meminta, apabila dunia tak lagi adil, dunia tak lagi mampu menegakkan keadilan, perjuangan ini tak lagi dihargai oleh mereka yang dipercayakan konstitusi untuk mengemban tanggung jawab dalam menegakan hukum dan keadilan. Kami meminta, kalian harus berjuang dengan caramu sendiri. Rapatkanlah mulutmu ke telinga semua orang yang kamu tahu, ada di dalam kasus ini, di telinga suami, istri, anak dan cucu-cucu mereka. Menangis dan menjeritlah di telinga mereka. Dan diamlah sampai benar-benar mulut mereka berkata jujur dan keadilan benar-benar ditegakan.
Bahagia di surga Astrit dan Lael. Doakanlah semua orang yang sedang berjuang untuk keadilan di Bumi Flobamora yang tercinta ini.***Laurens Leba Tukan