KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Ketua DPD I Partai Hanura Provinsi NTT, Refafi Gah adalah contoh salah satu pejabat publik di NTT yang sejak awal mau terbuka di publik tentang statusnya yang positif Covid-19. Pria dengan perawakan murah senyum ini enggan menutup diri bahwa terpapar Covid-19, agar pihak lain yang pernah kontak erat dengannya bisa lebih cepat melakukan pemeriksaan. Kini, Refafi telah sembuh dari Covid-19. Selama menjalani masa isolasi mandiri selama 14 hari ditambah lima hari pemulihan, ia mengaku cemas.
“Sekarang saya sudah 100% sembuh setelah menjalani isolasi mandiri, sepanjang siolasi, saya merasa cemas karena setelah hasil laboratorium menunjukan positif, dari Dinas Kesehatan tidak pernah menghubungi kami dan tidak pernah mengarahkan kami untuk menjalani isolasi mandiri itu apa saja yang harus dilakukan,” sebut Refafi usai sidang paripurna di Gedung DPRD Provinsi NTT, Senin (15/2/2021).
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi NTT ini menambahkan, kondisi yang dialaminya itu diyakini pasti dialami pula oleh pasien lainnya yang memilih melakukan isolsi mandiri di rumah. “Kita tidak pernah dihubungi oleh Dinas Kesehatan, karena alurnya adalah ketika kita sudah swab dan hasilnya positif, maka kita akan melapor ke Dinkes, tetapi setelah itu tidak pengobatan atau pendampingan dari petugas,” ujarnya.
Ia mengatakan, obat-obatan yang dikonsumsinya selama menjalani masa isolasi mandiri dibelinya sendiri. “kebetulan anak saya dokter jadi dia yang mengarahkan untuk obat-obat yang tepat untuk saya konsumsi, tetapi bagaimana dengan masyarakat umum lainnya yang tanpa ada pengawasan dan monitor dari pihak Dinas Kesehatan, sehingga hal ini yang menimbulkan kecemasan. Tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dan masih diberi waktu oleh Tuhan dan akhirnya saya sudah negatif,” katanya.
Refafi Gah mengatakan, saat ini angka peningkatan Covid-19 di kota Kupang sangat tinggi sehingga ia menyarankan kepedulian dari pemerintahan Kota Kupang dan Provinsi NTT agar bisa berkoordinasi dengan baik antara Dinkes dan Puskesmas.
“Ada pasien yang sudah positif, lapor ke Puskesmas namun ditolak karena belum ada surat dari Dinkes dan ketika mereka sudah negatif mereka minta surat keterangan negatif Covid, juga tidak dikasih dengan alasan belum ada surat rekomendasi dari Dinkes. Saya melihat relasi antara Dinkes dan Puskesmas itu kurang bagus,” sebutnya.
Politisi asal Pulau Sumba ini mengaharapkan agar ada koordinasi yang maksimal sehingga tidak terjadi bolong. “Kalau modal pelayanan seperti ini, kita berpikir untuk memutuskan mata rantai Covid-19 itu agak sulit karena yang sudah kena dan positif saja tidak pernah dihubungi untuk dikasih obat. Baik kalau yang kena adalah masyarakat yang punya uang, tetapi kalau masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi maka akan lebih sulit apalagi dia dikarantina mandiri di rumah,” katanya.
Refafi menambahkan, agar tidak menimbulkan klaster-klaster baru maka para pemimpin umat, bisa bersinergi dengan Pemerintah ntuk membahas dan mencarikan jalan keluarnya. “Kalau ada jemaat atau umat yang terpapar maka melalui lembaga Agama ini kita berikan obat-obatan juga makanan. Kita semua membantu dia yang sedang terpapar dengan memberikan makanan dan obat-obatan, dan menghindarkan dia dari diskriminasi dan pengucilan,” ujar Refafi.
Menurut Refafi, jika menginginkan agar pandemi Covid-19 berakhir maka jangan hanya mengharapkan pemerintah saja, apalagi dengan penanganan yang seprti dialaminya. “Mari kita berkumpul dan kita saling membantu, karena kalau model penanganan yang seperti dilakukan Pemerintah sekarang ini yang saya alami sendiri, maka tidak akan hilang Covid-19 ini karena yang sudah terpapar saja tidak dilayani apalagi yang tidak tercatat. Oleh karena itu, saya himbau kepada tokoh-tokoh agama mari kita semua berkumpul sama-sama untuk bisa membantu mencegah Covid-19. Jika ada tetangga, umat kita yang sakit maka kita saling membantu cari obat dan cari vitamin untuk bisa menyembuhkan,” katanya.*)AldyHenukh
Editor: Laurens Leba Tukan