Memahami Posisi Industri Media Cetak Dalam Umur Produk

604

Oleh : Mira Natalia Pellu 

Para pengelolah media cetak kini tengah bersaing bukan hanya dengan sesama pelaku industri media cetak, namun tantangan terbesar yang dihadapi adalah menghadapi kemajuan internet. Di Indonesia berdasarkan hasil riset terbaru dari layanan manajemen kontem HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social menyebutkan bahwa pengguna internet saat ini mencapai 175,4 juta dengan penetrasi mencapai 64% (Pertiwi, 2020). Hampir seluruh pengguna internet di Indonesia menggunakan mobile untuk berinternet dan sebagian besar menggunakan internet untuk mengakses berita melalui media online.

Melalui media online, pembaca dapat dengan mudah memperoleh informasi dan berita yang aktual dan faktual, murah dan praktis. Berbeda dengan media cetak yang terbatas nilai kebaruannya dan hanya berumur 24 jam, sehingga membuat beritanya menjadi cepat basi. Apalagi Indonesia memiliki media massa terbanyak di dunia yakni sebesar 47.000 media massa (Agustina, 2018). Dari jumlah tersebut 2000 diantaranya merupakan media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal dan sisanya merupakan media daring.

Menjamurnya media daring di Indonesia, membuat persaingan media menjadi semakin kuat. Pada akhirnya setiap media berlomba-lomba untuk mencari perhatian publik, agar publik mau mengkonsumsi media tersebut. Hal ini dilakukan agar para pengiklan mau untuk mengiklankan produk mereka. Lalu apa yang harus dilakukan oleh media cetak untuk tetap bertahan ditengah persaingan tersebut?

Theodore Levitt dalam artikel yang berjudul Exploit The Product Life Cycle (Sholauiddin, 2014) memperkenalkan ide siklus umur produk (Produk life cycle ), dalam hal ini setiap produk ataupun jasa memiliki siklus umur produk. Termasuk industri media cetak seperti koran, majalah maupun tabloid. Dimana setiap produk dan jasa memiliki umur yang berbeda-beda. Setiap perusahaan harusnya dapat memahami setiap periode umur produk, guna menentukan strategi pemasaran yang tepat. Heizer & Render (2009) menjelaskan bahwa siklus umur produk dapat dikelompokan menjadi empat tahap seperti yang dijelaskan pada tabel berikut:

Table Siklus Umur Produk

Menjadi sangat penting untuk mengetahui siklus umur produk, guna menentukan strategi yang tepat agar nantinya produk dapat diterima di pasar. Kamaluddin (2014) menyebutkan bahwa hadirnya internet mengakibatkan media cetak di Indonesia “berdarah-darah”. Media cetak maupun online harus berebut pembaca (sirkulasi) maupun iklan. Fakta lainnya menyebutkan bahwa, banyak media cetak telah kehilangan pembacanya secara signifikan, oplah dan pendapatan iklan pun mulai menurun. Hal ini membuat sejumlah media cetak mulai gulung tikar. Media online dengan segala kemudahannya, telah membuat informasi menjadi mudah diakses, praktis dan lebih murah (Sholauiddin, 2014).

Jika melihat tabel diatas, secara umum kondisi industri media cetak tengah berada di kondisi kedewasaan (maturity) dan pada batas-batas tertentu sedang menuju fase decline (penurunan). Danang Sunyoto (2012) menyebutkan bahwa, pada kondisi kedewasaan yang terjadi adalah mulai menurunnya penjualan dan mulai timbul perasaan jenuh terhadap produk tersebut. Tahapan ini berlangsung lebih lama dibandingkan tahap-tahap sebelumnya. Penting untuk menentukan strategi yang tepat agar media cetak tetap bertahap hidup.

Strategi yang dilakukan untuk bertahan hidup anatra lain: pertama, dengan melakukan konvergensi media. Hal ini dilakukan untuk menggabungkan dua ranah berbeda, dan untuk membidik segmen yang berbeda. Media online membidik mereka yang akrab dan mengandalkan informasi dari internet. Mereka ini, adalah generasi-generasi baru yang lahir dan dibesarkan dalam iklim digital. Sedangkan bagi konsumen yang lahir dan dibesarkan di era cetak, tentu lebih nyaman dengan mengkonsumsi media cetak dan tetap menikmati informasi yang diinginkan.

Selain itu keberadaan media cetak selalu dikaitkan dengan isu penyelamatan lingkungan (go green). Bahan pokok koran yakni kertas, berasal dari kayu. Maka jika semakin banyak kertas yang digunakan, akan membuat semakin banyak pohon yang ditebang. Sedangkan media online lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan kertas (paperless). Isu-isu penyelamatan lingkungan menjadi isu sensitif yang akan diperhitungkan baik kalangan aktivis lingkungan maupun konsumen.

Kedua, dengan melakukan modifikasi produk dengan perbaikan kualitas produk yang ada. Modifikasi ini dilakukan untuk memanfaatkan kelemahan media online. Misalnya dengan memperbaiki tampilan, tata letak dan grafisnya. Grafis diyakini memberi kesan indah pada tampilan media cetak dan memudahkan pembaca untuk menangkap pesan dalam berita yang rumit menjadi lebih muda. Dalam konteks desain visual grafis di ranah jurnalisme muncul istilah jurnalisme data. Genre jurnalisme ini menunjuk pada praktik jurnalistik dengan memanfaatkan data-data kuantitatif, termasuk data-data statistik untuk mendukung pemberitaan. Data-data tersebut diperoleh dari sumber-sumber terpercaya dan ditampilkan dengan visualisasi yang menarik (Sholauddin, 2014).

Terakhir yang dapat dilakukan oleh media cetak, terletak pada kedalaman berita yang disajikan. Jika media online mengandalkan faktor kecepatan, sehingga kedalaman berita menjadi terabaikan. Maka media cetak mempunyai waktu yang lebih longgar dan bisa memberi sentuhan yang lebih dalam dari pada berita-berita yang dirilis di media online. Kurnia (2001) menyebutkan bahwa media cetak dapat menyajikan berita-berita mendalam (indepth news) sehingga pembaca dapat mencerna informasi yang lebih dalam dan lengkap dari sekedar berita permukaan. **) Penulis: Mahasiswa Pascasarjana, Universitas Atman Jaya, Yogyakarta

 

 

Center Align Buttons in Bootstrap