Insiden Kades Hikong, Herman Hayong Tanggapi Petrus Selestinus

921
Herman Hayong dan Petrus Selestinus

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Putra Flores Timur yang kini berkiprah di Jakarta, Herman Hayong menanggapi pernyataan Koordintaor TPDI Petrus Selestinus terkait insiden yang melibatkan Kepala Desa Hikong di Kabupaten Sikka yang berdampak meninggalnya seorang bayi karena ambulance yang mengangkut ibu bayi itu terhalang blockade.

Petrus Selestinus dalam sebuah komentarnya yang dilansir SuluhDesa.com dengan judul “Media Jangan Hakimi Kepala Desa Hikong Sebagai Penyebab Matinya Bayi” (28 Mei 2020).

Dalam keterangan tertulis yang diterima SelatanIndonesia.com, Kamis (28/5/2020), Herman Hayong menyebutkan, benar kalau Kompas TV tidak melakukan cover both side, dalam hal penyajian data yang tidak akurat terutama soal penyebab kematian sang bayi. “Benar juga alasan kepala desa Hikong melakukan pemblokiran jalan bagi warga Flotim yang hendak ke daerah Sikka karena tersinggung oleh perlakuan tim Covid-19 dari Flotim,” sebut Herman.

Tapi, menurut Herman, yang dilakukan tim Covid-19 Kabupaten Flotim dilakukan kepada orang sehat bukan orang sakit yang diangkut dengan ambulance. “Saya kira semua norma hukum di dunia baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan perang itu sama bahwa nyawa ibu-ibu, bayi dan anak-anak harus diselamatkan. Dan yang namanya ambulance itu sekalipun dalam keadaan perang ketika sirenenya berbunyi harus diberi keistimewaan,” katanya.

Menurut Herman, sekalipun sang bayi meninggal karena faktor lain, tetap saja tindakan aparat desa menghalangi ambulance yang membawa pasien adalah sebuah kekeliruan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. “Sehingga tragedi ini bisa menjadi moment pembelajaran bagi siapapun,” sebutnya.

Herman membeberkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UULLAJ jo Pasal 65 ayat (1) PP 43/1993 sesuai urutan berikut: a). Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; b). Ambulans yang mengangkut orang sakit; c). Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; d). Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; e). Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; f). Iring-iringan pengantar jenazah; dan g). Konvoi dan/ atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Herman menambahkan, dari penjelasan tersebut, diprioritaskan kendaraan-kendaraan yang telah disebut untuk diberi laluan aman dan cepat di jalan raya. Ketentuannya yaitu, Ambulans, Pemadam Kebakaran, dan Kendaraan Polisi yang sedang membunyikan sirene dan lampu-lampu, di jalanan wajib diberi jalan dan lintasan aman guna sampai pada tujuan dengan selamat, di mana pengemudi lainya harus minggir ataupun berhenti di tepi jalan dan beri laluan aman.

“Ketiga kendaraan darurat tersebut mempunyai keistimewaan untuk bisa melanggar rambu-rambu lalulintas seperti melawan arus lalu-lintas, menerobos lampu merah, melewati jalur busway, dan lain-lain pada kondisi darurat dan tidak boleh diganggu oleh pengemudi lainya. Dan, seluruh pengemudi lalu-lintas yang melihat dan mendengar sirene atau lampu-lampu dari kendaraan darurat tersebut wajib berusaha memberi jalan walaupun pada kondisi kemacetan lalulintas. Jika tidak memungkinkan, pengemudi wajib berusaha semaksimal mungkin untuk minggir dan memberi jalan,” jelasnya.

Ia menambahkan, dilarang keras menghadang, mengabaikan, dan mengganggu perjalanan ketiga kendaraan darurat tersebut dalam melaksanakan tugas untuk menyelamatkan nyawa. “Selain keperluan tertentu, dilarang membuntuti atau mengikuti ketiga kendaraan darurat tersebut dalam melaksanakan tugas guna melewati kemacetan atau cari jalan cepat, karena dapat membahayakan dan menyelakai kendaraan darurat tersebut jika terjadi rem mendadak, dan sebagainya,” pungkas Herman Hayong.

Koordinator TPDI Petrus Selestinus yang dihubungi SelatanIndonesia.com, Kamis (28/5/2020) menyebutkan, Berita Kompas TV tanggal 25 Mei 2020 dengan judul “Ambulans Tertahan Blokade Jalan, Seorang Bayi di Sikka Meninggal dalam Kandungan” (Berita daerah tanggal 25 Mei 2020 pukul 20.45) WIB. “Berita ini sungguh-sungguh provokatif bahkan menghakimi Agustinus, Kepala Desa Hikong, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, sebagai penyebab matinya bayi dalam kandungan,” sebut Petrus dalam keterangan tertulisnya.

Menurut dia, derita Kompas TV yang disiarkan pada tanggal 25 Mei 2020 tersebut langsung menjustifikasi bahwa seorang bayi meninggal dalam kandungan, setelah ambulans yang mengangkut ibunya terhambat antrean panjang akibat blokade jalan di Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pada bagian ini Kompas TV telah mempublish berita itu tanpa bukti medis yang valid menerangkan sebab-sebab kematian bayi.

“Kompas TV juga telah mengabaikan fakta dimana kondisi Ibu bayi yang bersangkutan sudah kritis sejak dibawa dari Larantuka ke Maumere, sehingga Kompas TV seharusnya patut menduga bahwa segala hal bisa terjadi selama jarak tempuh yang jauh selama perjalanan tidak kurang dari 3 (tiga) jam dari Larantuka Maumere dan tentu saja memiliki andil terbesar dalam membawa kondisi Ibu dan bayinya semakin kritis,” ujar Petrus

Dikatakannya, Kompas TV telah melanggar prinsip “cover both side” karena bersikap tidak netral dan berimbang dalam  mendapatkan sumber berita sebelum membuat berita. “Absennya  bukti medis dari Dokter yang merawat Ibu dan bayi yang meninggal di RSUD Dokter TC. Hillers maupun Dokter/Bidan yang merawat Ibu dan bayi sebelumnya di RS. Larantuka, itulah yang menjadi hutang Kompas TV untuk mengklarifikasi,” katanya.

Melanggar Prinsip Cover Both Side

Petrus Selestinus membeberkan fakta bahwa, meskipun belum ada bukti medis  dari pihak RSUD Maumere Dokter TC. Hillers dan Dokter/Bidan di RS. Larantuka, namun Kompas TV tetap menayangkan berita soal sebab kematian bayi sebagai akibat tindakan Agustinus, memblokade jalan. “Berita itu telah direkam dan ditransmisikan sehingga mudah diakses secara luas, telah memberi tafsir bebas seakan-akan Agustinus sebagai penyebab kematian bayi dalam kandungan, padahal tidak demikian,” katanya.

Bagi Petrus, tindakan itu jelas bagian dari “trial by the press” oleh Kompas TV, yang tidak saja telah menyudutkan dan merugikan Agustinus, Kepala Desa Hikong tetapi juga masyarakat Desa Hikong dan masyarakat perbatasan Flores Timur-Maumere, karena bisa berdampak memperkeruh hubungan baik antar warga perbatasan antara kedua  desa yang selama ini hidup berdampingan secara damai.

Petrus mengatakan, sesuai pernyataan Agustinus, penutupan jalan itu disebabkan, para petugas Covid-19 Flores Timur di posko perbatasan, membuat pengecualian terhadap warga Sikka yang hendak bepergian ke areal Flores Timur, sejak Sabtu 23 Mei 2020, karena warga Sikka diberi stigma sebagai orang COVID-19, karena itu Agustinus bersama warganya sepakat memblokade warga Flores Timur yang hendak ke Sikka, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kompas TV melakukan aksi publisitas, tanpa mempertimbangkan bahwa pembertitaan itu akan mudah diakses, ditransmisikan atau difistribusikan secara elektronik, sehingga dampaknya bagi kedua belah pihak seperti diadu domba melalui pemberitaan tanpa didukung fakta yang berimbang, konprehensif dan valid, sehingga masyarakat dibuat bingung mana yang benar bahkan Agustinus dikambing hitamkan,” jelas Petrus.***Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap